Baca Juga: Libur Lebaran ke Malang? Coba Deh Riding Beli Jajanan Khas ke Pasar Besar
Mengenai gaya arsitekturalnya, fasad bangunan Masjid Selo menyerupai Tamansari.
Maklum, arsitek dari bangunan masjid itu sama dengan arsitek Tamansari yang berada di sebelah barat Keraton Yogyakarta.
Kubah masjid berbentuk mengerucut dengan bahan semen dan batu menyerupai bangunan di Tamansari.
Tembok di masjid itu juga tebalnya hingga 75 sentimeter.
Model jendela yang digunakan berupa teralis terbuat dari kayu.
Tidak banyak ornamen yang digunakan dalam pembangunan masjid itu.
Langit-langitnya juga berbentuk mengerucut persis seperti bangunan Tamansari.
"Atap pintunya agak rendah, boleh jadi orang ketika masuk harus menunduk. Itu filosofinya," tutur Narwi. "Menunduk tadi maksudnya menghormat.”
Fondasi masjid ini juga sangat dalam masuk ke tanah.
Baca Juga: Ngabuburide Berfaedah, Komunitas Honda PCX 150 Semarang Gelar Charity Ride
Bahkan ketika terjadi gempa bumi besar di DIY, relatif bangunan ini tidak terdampak.
“Lah, kemarin orang buat sumur irigasi katanya melihat fondasi masjidnya," terang dia.
Luas awal masjid itu lebih kurang 6x8 meter persegi, hanya bisa menampung sekitar 30 jemaah.
Saat ini masjid itu dilakukan perluasan dengan menambah serambi di kanan dan kiri bangunan utama masjid.
Otomatis daya tampung bertambah, yakni lebih kurang 150 jemaah.
Kini Masjid Selo masuk ke dalam Bangunan Cagar Budaya.
Artikel ini telah tayang di TribunJogja.com dengan judul "Menilik Sejarah Masjid Selo Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono I"
Editor | : | Hendra |
Sumber | : | Tribunjogja.com |
KOMENTAR