Tetapi setelah ditelusuri lagi bersama anggota Staf Kepresidenan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pembayaran jadi terkendala karena bidang tanah yang dibebaskan masuk dalam kawasan hutang lindung.
"Kawasan itu ditetapkan jadi hutan landung pada 1996. Padahal kami sudah bercocok tanah d sana dari 1960-an. Jadi itu bukan hutan liar, tapi ladang hidup kami," kata Pangeran, dikutip dari Tribunkaltim.co.
Dari pembahasan bersama Staf Kepresidenan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ditargetkan bahwa pembayaran uang ganti rugi akan selesai pada Oktober 2021 mendatang.
Pangeran menuturkan, hal ini sebetulnya sangat disayangkan, karena dikhawatirkan pembayaran baru selesai ketika jalan tol Balikpapan-Samarinda diresmikan.
Padahal jika menilik Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum, pengadaan tanah merupakan kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti rugi yang layak dan adik kepada pihak yang berhak.
Tapi kalau menilik pasal 42 ayat 1, jika uang telah dititipkan kepada Pengadila Negeri, maka kepemilikan warga atas tanah tersebut jadi dihapuskan dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Dengan melihat regulasi itu, maka uang ganti rugi atas 39 lahan Seksi 1 sudah menjadi kewenangan Pengadilan Negeri Balikpapan.
Sehingga warga pemilik lahan terdampak tidak memilik hak atas tanahnya lagi.
Editor | : | Ditta Aditya Pratama |
Sumber | : | TribunKaltim.co |
KOMENTAR