GridOto.com - Pejahat dengan beragam aksi ini mengenakan pakaian rapi dengan kemeja, celana panjang, sepatu, serta topi.
Boby, bukan nama sebenarnya, bercerita pengelamannya menjadi kriminal, yaitu jambret, begal, hingga pembobol rumah mewah.
Ia mengaku sengaja berpenampilan necis seperti itu untuk menghindari kecurigaan orang ketika menjalankan aksi.
Berkat bantuan narasumber penghubung, Tribun Jateng berkesempatan secara ekslusif mewawancarai pelaku kejahatan lintas provinsi yang masih aktif itu di sebuah angkringan pinggir jalan, sebelum ia berangkat 'kerja'.
Boby bercerita, profesi sebagai jambret, begal, dan pembobol rumah telah dijalaninya sejak dua tahun lalu.
Siang hari membobol rumah, lalu malamnya dilanjut menjambret atau membegal.
(BACA JUGA: Ngeri! Pria Ini Pasrah Ditodong Pistol Oleh Pembegal, Motor Langsung Dibanting)
Khusus di wilayah Kota Semarang, kawasan favoritnya adalah daerah timur, seperti Tlogosari, Gayamsari, dan Jalan Arteri Soekarno-Hatta.
Daerah itu dipilih karena relatif sepi. Selain itu, banyak jalur tikus yang semakin memudahkannya ketika bekerja.
Sebelum beraksi, Boby lebih dulu menentukan wilayah sasaran atau mangsa dengan cara berkeliling mengendarai motor.
Tujuannya untuk mengenal medan, mulai dari jalur keluar masuk hingga alternatif arah melarikan diri, sehingga ketika terjadi kondisi darurat tak perlu pikir panjang.
Bobby biasa menyebut ketiga profesinya itu dengan istilah begal, tarikan (jambret), dan bobol (mencuri rumah).
(BACA JUGA: Dor! 12 Begal Curanmor 'Diselesaikan' di Karawang)
Dalam menjalankan aksi, Boby biasanya ditemani seorang rekan yang bertugas sebagai pengawas.
Ia biasa menyebutnya dengan istilah si-penjaga game.
Tugasnya selain sebagai driver juga untuk mengawasi kondisi di luar rumah ketika dirinya sedang membobol rumah.
Sejauh ini, Roby mengaku paling sering kerja sebagai pembobol rumah dibandingkan dengan begal atau jambret.
Pertimbangannya karena hasil lebih besar, relatif mudah, minim risiko dan masa hukumannya lebih singkat.
Berbeda jika menjadi begal atau jambret. Aksinya dilakukan secara kasar dan rawan amukan massa.
"Lebih berisiko begal, karena jika ketangkap pasti dihajar massa, banyak kasus sampai mati. Masa hukuman juga paling ringan bobol, hanya tiga tahunan. Kalau begal bisa lebih, soalnya bawa senjata tajam saja sudah kena delapan bulan," paparnya.
Meski penjahat, Boby mengaku sangat memperhatikan betul dampak dari tindakannya, khususnya dari segi hukum.
Sehingga, sebisa mungkin ia menjalankan aksi secara rapi tanpa perlu melakukan tindakan yang akan memperlama masa hukuman.
"Sejauh ini saya belum pernah tertangkap petugas. Bunuh orang juga tidak pernah, tapi kalau bacok pernah, itupun terpaksa karena ketika membegal korban melawan," ujarnya.
Menurut dia, sekarang ini semakin banyak orang yang bekerja seperti dirinya. Bahkan, ada perkampungan di Semarang yang remajanya banyak menjadi pembobol rumah maupun begal.
Menjadi begal baru ditekuninya setahun terakhir. Korban pertamanya dulu merupakan laki-laki pengguna sepeda motor. Caranya, kendaraan korban dipepet, lalu ia turun dan menodongkan pedang.
(BACA JUGA: Terluka Karena Lompat Dari Jalan Layang, Begal Motor Tetap Jadi Bulan-Bulanan Warga)
Sama seperti membobol rumah, aksi pembegalan sering dilakukan Boby di wilayah Semarang bagian timur.
Dari hasil pertamanya itu, ia mendapatkan handphone dan sepeda motor korban yang laku dijual seharga Rp 1,5 juta.
Sama halnya dengan begal, aksi jambret dilakukan lebih singkat. Ia biasa mengincar orang yang bermain handphone.
Setelah dirampas, Boby lalu pergi seketika membonceng seorang rekannya menggunakan sepeda motor.
(BACA JUGA: Video Polisi Jadi Bahan Tertawaan Pemotor di Belakangnya, Kenapa Ya?)
Boby tahu betul pekerjaan itu berisiko terhadap nyawanya. Tetapi, hal itu terpaksa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan.
Sejauh ini, keluarga dan saudara tidak pernah tahu pekerjaan yang dilakukannya.
Jika aksi pembobolan maupun kriminalitas mencuat ramai di Kota Semarang, ia terpaksa pindah ke kota lain atau sementara berhenti bekerja.
Sebagai gantinya, Boby bekerja sebagai buruh bangunan.
"Jadi buruh bangunan sebagai sampingan," tukasnya.
Dalam kesempatan berbeda, pelaku lain mengaku kejahatan jalanan biasanya bersifat spontan.
Mereka tidak memantau calon korban dalam waktu yang lama. Sekali melihat ada peluang langsung eksekusi.
Hal itu menjadi prinsip Amir Sarifudin (39), seorang pelaku kejahatan jalanan yang kini mendekam di tahanan Polrestabes Semarang.
Pria asal Lampung itu masih terlihat pincang saat berjalan.
Maklum saja, dua minggu lalu timah panas menghujam kaki kirinya saat diringkus polisi di sebuah hotel di Bandungan, Kabupaten Semarang.
(BACA JUGA: Polisi Tangkap Begal Sadis, Pelaku Menyangka Korbannya Sesama Begal)
Amir merupakan eksekutor perampasan disertai kekerasan dengan modus menyekap korban di dalam mobil, lalu membuangnya di tepi jalan.
Kepada Tribun Jateng, ia mengaku mulai melancarkan aksinya sejak awal 2018.
"Awalnya beraksi di Yogyakarta, lalu sempat ke Solo, Klaten, Magelang, Ponorogo, sampai akhirnya di Semarang," tuturnya.
Dalam beraksi, Amir sudah melanglang buana di berbagai kota. Sasarannya adalah seorang wanita tua yang lemah, mudah panik, dan butuh tumpangan.
Setelah masuk ke mobil, ia tidak segan memukuli, hingga seluruh harta benda yang dibawa diserahkan.
Dengan metode demikian, hasil rampasannya tidak banyak. Dari beberapa kali ia merampas, hasilnya hanya Rp 200 ribu-Rp 500 ribu.
"Tapi di Semarang beda, sekali beraksi hasilnya lumayan," ungkapnya.
Semarang, menurutnya, menggiurkan.
(BACA JUGA: Begal Masuk Daerah Ini Pilihannya Cuma Dua; Ditembak Kaki atau Ditembak Mati!)
Pertama kali merampas di Semarang pada 4 Februari 2018, ia berhasil menguras uang tunai Rp 5 juta, perhiasan senilai Rp 3,3 juta, dan ponsel.
"Kalau ditotal setelah dijual dapat 11 jutaan dari satu orang saat itu.
Uangnya habis buat seneng-seneng sama kebutuhan sehari-hari," bebernya.
Beraksi di Semarang pun membuatnya kecanduan. Selang sebulan, Amir kembali beraksi.
Jika aksi pertama di Jalan Setiabudi, Banyumanik, aksi kedua tidak jauh bergeser, yakni di Jalan Tusam Raya, Pedalangan.
Dari aksi kedua, ia mendapat uang tunai Rp 3 juta, kalung emas 24 gram, empat buah cincin emas, dan ponsel. Jumlah yang tidak sedikit.
"Kami keliling-keliling saja di sekitar Banyumanik, Undip, Jatingaleh, kalau ada ibu-ibu kelihatan mencolok, jalan kaki, kami panggil dan tawari tumpangan," tukasnya.
Editor | : | Iday |
Sumber | : | Tribun Jakarta |
KOMENTAR