Selain itu frasa yang 'atau belajar sendiri' yang didalilkan pada Pasal 77 ayat (3) UU LLAJ bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Adanya frasa tersebut dianggap dapat menimbulkan ketidakadilan bagi output lembaga kursus dan pelatihan para Pemohon.
Menurut MK, pertentangan tersebut pada pokoknya adalah sama yaitu adanya anggapan terjadi ketidakpastian hukum terhadap output lembaga kursus dan pelatihan tempat usaha para Pemohon.
Yang menjadi objek atau tujuan untuk memperoleh kompetensi mengemudi, dalam hal ini SIM, segala aturan mengenai syarat, jenis, serta lembaga yang berwenang menerbitkan SIM tersebut telah jelas diatur dalam Pasal 77, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, dan Pasal 88 UU LLAJ.
Baca Juga: Takut Hilang Tercecer, Boleh Gak Berkendara Cuma Bawa Fotokopi SIM dan STNK? Ini Kata Polisi
Dengan demikian sudah jelas bahwa apapun bentuk kompetensi yang menjadi output dari lembaga pendidikan pelatihan, selama calon pengemudi tersebut tidak lulus ujian mengemudi, maka tidak lulus syarat untuk mendapatkan SIM.
Khususnya untuk calon pengemudi yang belajar di lembaga pendidikan dan pelatihan.
Namun sebaliknya, jika seseorang yang belajar sendiri ternyata berdasarkan hasil ujian mengemudi dinyatakan memiliki kompetensi yang cukup maka hasilnya harus diakui dan tidak dapat dikatakan tidak sah atau tidak valid.
Selain itu, menurut Mahkamah, untuk berbagai jenis keahlian jika seseorang yang belajar sendiri dapat lulus ujian standardisasi layaknya seseorang yang melalui pendidikan dan pelatihan resmi atau dilatih tenaga profesional, bukan berarti terjadi ketidakpastian terhadap akreditasi tenaga pelatih dan instruktur dimaksud.
Baca Juga: Street Manners: Cara Nyalip Aman Saat ‘Kehalang’ Mobil Belajar Mengemudi