GridOto.com - Transformasi konsep bisnis dari era konvensional menuju digitalisasi tidak bisa dihindari, begitupun dengan bisnis otomotif Tanah Air yang perkembangannya cukup signifikan.
Tak ayal, para produsen otomotif pun kini berlomba-lomba menghadirkan produk digital-nya guna mengikuti pola kebiasaan konsumen yang perlahan berubah.
Hal itu sontak menimbulkan pertanyaan, masih pentingkah jaringan offline seperti dealer di era yang serba digital atau online seperti saat ini.
Memahami permasalahan yang dihadapi, Hendrayadi Lastiyoso, selaku Marketing & CR Division Head PT Astra International Daihatsu Sales Operation (AI-DSO) mengungkapkan, babak baru seperti era digital ini tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi perusahaanya.
(Baca Juga : Blak-blakan Vincent Lo: Berawal dari Lampu, Hella Sudah Ada Lebih dari Satu Abad)
Meski begitu, dirinya berpendapat jaringan offline masih memiliki peran penting dan dibutuhkan oleh konsumen.
"Apakah outlet itu masih diperlukan atau tidak di era digital seperti sekarang ini? Brand by brand itu kan masing-masing memiliki segmen yang berbeda," papar Hendrayadi, Kamis (16/5/2019).
"Kalau kami lihat dulu industrinya, jika memang seperti industri seperti kuliner yang menggunakan GO-Food memang sekarang kan langsung berkembang sekali ya," imbuhnya saat ditemui GridOto.com di kantornya yang terletak di kawasan Sunter, Jakarta Utara.
Hendrayadi menambahkan, setiap brand memiliki karakter konsumen yang berbeda-beda, dan digitalisasi juga belum seluruhnya menyentuh masyarakat Indonesia.
(Baca Juga : Blak-blakan Agus Djaja: Berawal dari Modif Mobil Pameran, Begini Asal Mula Perusahaanya Hingga Jadi Vendor TRD di Indonesia)
"Jika dilihat dari segmen kostumernya Indonesia, seberapa baik product knowledge mereka," kata Hendrayadi lagi.
"Kalau kostumer yang sudah mature, dia akan melihatnya hanya lewat digital saja poin-poinnya lalu dia memutuskan untuk beli. Tapi kan orang seperti itu sudah punya edukasi yang tinggi, mereka sudah mengerti," lanjutnya.
Selain itu, dalam membeli sebuah mobil besaran investasi yang dikeluarkan oleh konsumen tidaklah sedikit.
Sehingga memasarkannya dalam bentuk digital dirasa belum cukup untuk menyakinkan konsumen dalam membeli produknya untuk saat ini.
"Kalau Daihatsu ini mengingat first time buyer kami ini kan porsinya masih cukup besar. Mereka ini adalah orang-orang yang masih ingin datang, lihat dulu mobilnya walaupun mobilnya sudah ada di jalan," ujar Hendrayadi.
"Bahkan kalau bisa datangnya beramai-ramai dengan keluarganya. Karena apa? ini kan merupakan nilai investasi yang menurut mereka sangat besar sekali, walaupun di rentang angka Rp 100 hingga Rp 200 jutaan," tambahnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Amelia Tjandra, selaku Direktur Marketing ADM.
Menurutnya budaya masyarakat jadi salah satu kunci dalam memasarkan produk dengan cara digitalisasi, sebab masing-masing negara memiliki budaya atau kebiasaan belanja yang beda.
(Baca Juga : Blak-Blakan Winston Wiyanta : Kisah Ini Buktikan Winston Mandiri Meski Jadi Anak Bos Delima Jaya)
"Dari segi global kami harus lihat lagi, setiap negara itu punya budaya belanja masing-masing. Contoh kalau di Jepang kami tahu nawar tidak ada di sana, semua harga fix dan tidak ada ceritanya tawar-menawar," tambah Amel seraya tersenyum.
"Tapi kalau di Indonesia, kita adalah bangsa yang sangat menyukai tawar-menawar. Apapun ya bukan hanya di pasar, termasuk dalam industri otomotif juga," imbuhnya.
Amel menambahkan,kebiasaan tawar-menawar itulah yang menjadi alasan lain kenapa jaringan atau outlet offline masih memiliki peran penting.
Selain itu, tingkat pendidikan masyarakat yang berbeda juga mempengaruhi seberapa efektifkah digitalisasi dalam memasarkan produknya.
"Kalau orang Jepang atau orang luar itu budaya baca sangat tinggi ya, membaca dan mengerti. Sedangkan kalau orang Indonesia itu sukanya ngobrol, baca itu agak kurang," papar Amel.
"Jadi misalnya review aja kalau suruh baca males, tapi kalau suruh dengar itu mau. Nah, dengan kunjungan khusus atau pertemuan khusus itu rasanya masih lebih cocok dengan budaya Indonesia yang suka ngobrol," tutupnya.
Namun, Daihatsu tidak menutup mata ke depannya bahwa jaringan offline dan online akan memiliki peranan penting ke depannya.
Sebagai bentuk antisiapasi, Daihatsu juga bakal terus membenahi dan membekali karyawan mereka dengan berbagai layanan digital terbarunya di Indonesia.
(Baca Juga : Blak-blakan Kemas Henry Kurniawan: Strategi Seva.id dalam Menghadapi Dinamisnya Dunia Digital)
"Sehingga kami melihat bahwa peranan showroom ini masih cukup dominan, walaupun bagaimana Daihatsu juga tetap mempersiapkan digitalisasi tersebut," lanjut Hendrayadi lagi.
"Jadi saya mau bilang dua-duanya itu penting untuk saat ini, sehingga nanti kombinasi keduanya menjadi suatu sinergi yang baik," tutupnya.