"Dari segi global kami harus lihat lagi, setiap negara itu punya budaya belanja masing-masing. Contoh kalau di Jepang kami tahu nawar tidak ada di sana, semua harga fix dan tidak ada ceritanya tawar-menawar," tambah Amel seraya tersenyum.
"Tapi kalau di Indonesia, kita adalah bangsa yang sangat menyukai tawar-menawar. Apapun ya bukan hanya di pasar, termasuk dalam industri otomotif juga," imbuhnya.
Amel menambahkan,kebiasaan tawar-menawar itulah yang menjadi alasan lain kenapa jaringan atau outlet offline masih memiliki peran penting.
Selain itu, tingkat pendidikan masyarakat yang berbeda juga mempengaruhi seberapa efektifkah digitalisasi dalam memasarkan produknya.
"Kalau orang Jepang atau orang luar itu budaya baca sangat tinggi ya, membaca dan mengerti. Sedangkan kalau orang Indonesia itu sukanya ngobrol, baca itu agak kurang," papar Amel.
"Jadi misalnya review aja kalau suruh baca males, tapi kalau suruh dengar itu mau. Nah, dengan kunjungan khusus atau pertemuan khusus itu rasanya masih lebih cocok dengan budaya Indonesia yang suka ngobrol," tutupnya.
Namun, Daihatsu tidak menutup mata ke depannya bahwa jaringan offline dan online akan memiliki peranan penting ke depannya.
Sebagai bentuk antisiapasi, Daihatsu juga bakal terus membenahi dan membekali karyawan mereka dengan berbagai layanan digital terbarunya di Indonesia.
(Baca Juga : Blak-blakan Kemas Henry Kurniawan: Strategi Seva.id dalam Menghadapi Dinamisnya Dunia Digital)
"Sehingga kami melihat bahwa peranan showroom ini masih cukup dominan, walaupun bagaimana Daihatsu juga tetap mempersiapkan digitalisasi tersebut," lanjut Hendrayadi lagi.
"Jadi saya mau bilang dua-duanya itu penting untuk saat ini, sehingga nanti kombinasi keduanya menjadi suatu sinergi yang baik," tutupnya.