Haryadi menambahkan, aksi penjarahan timbul karena norma dan moral masyarakat yang sudah luntur.
Baca Juga: Isuzu Traga Muatan Telur Hancur Tak Terselamatkan, Derita Sopir Menjadi-jadi, Nurani Warga Mati
Akibatnya, hal-hal yang dulu dianggap buruk, saat ini menjadi hal yang biasa atau normal dilakukan.
Sementara, Direktur Pusat Studi Psikologi Bencana Universitas Surabaya, Listyo Yuwanto, mengatakan ada beberapa alasan seseorang bisa melakukan aksi penjarahan, yakni adanya kesempatan, kepuasan instan, dan kurangnya rasa empati.
"Mendapatkan sesuatu yang biasanya membutuhkan usaha atau biaya (seperti membeli makanan atau obat-obatan) secara gratis dapat memberikan kepuasan instan," ujar Listyo saat dihubungi secara terpisah oleh Kompas.com, Jumat (7/3/2025).
"Hal ini dapat memicu perilaku impulsif, terutama jika seseorang merasa ini adalah kesempatan langka," imbuhnya.
Tak hanya itu, Listyo menjelaskan, kurangnya rasa empati atau kemampuan untuk merasakan atau memahami penderitaan orang lain dapat membuat seseorang lebih mudah mengambil keputusan yang merugikan orang lain tanpa rasa bersalah.
Hal tersebut bisa diperparah dengan beberapa orang yang mungkin membenarkan tindakan mereka dengan alasan, seperti "orang lain juga melakukannya" atau "korban sudah tidak membutuhkannya lagi".
"Proses rasionalisasi ini membantu mereka mengurangi konflik batin atau rasa bersalah," kata Listyo.
Rasionalisasi ini membantu mereka mengabaikan aspek moral karena kebutuhan pribadi dianggap lebih mendesak.
Editor | : | Hendra |
KOMENTAR