Tapi, di sisi lain penggunaan bahan tersebut membuat biaya produksi jadi lebih tinggi.
Meski tak mau menyebut angka pasti, Indra memastikan bahwa ongkos pembuatan bus listrik menelan biaya lebih mahal.
"Ongkos produksinya pasti lebih mahal. Kalau dengan yang konvensional bisa lebih mahal berkisar 30 persen," tukasnya.
Hal senada juga pernah diungkapkan ole Stefan Arman, Technical Director Karoseri Laksana, saat ditemui di ajang GIIAS 2024.
Stefan menyebut, tantangan terbesar membangun bus listrik adalah membuat bodi menjadi seringan mungkin.
"Kalau secara sasis sih memang lebih simpel, karena enggak ada transmisi, engine juga enggak ada, tetapi dari bodi tantangannya adalah bagaimana bisa melakukan kompensasi berat baterai-nya," tuturnya.
Lebih jauh, Stefan menyebut efisiensi bobot juga berkaitan dengan regulasi pemerintah yang membatasi berat maksimal bus ukuran 12 meter adalah 16 ton.
"Sedangkan sekarang sasis bus listrik dan bus diesel, itu selisih beratnya hampir tiga ton, lebih berat bus listrik karena baterainya memang sangat berat," jelasnya.
"Dengan regulasi yang sama, sasis lebih berat tiga ton, akhirnya bodinya yang harus dikompensasi, harus lebih ringan. Karena kalau tidak nanti kapasitas penumpangnya akan berkurang banyak," lanjutnya.
Editor | : | Dida Argadea |
KOMENTAR