GridOto.com - Kawasaki Ninja H2 dikenal sebagai motor kasta tertingginya Kawasaki di era ini.
Pantas saja, soalnya mesin yang digendongnya ini punya spek yang buas banget.
Kapasitasnya 1.000 cc dengan empat silinder, plus dijejali juga dengan supercharge yang bikin performanya bak monster.
Selain jantung pacunya, tampang Ninja H2 juga tak kalah galak dengan guratan-guratan tajam di sekujur bodinya.
Di bagian fascia-nya saja amat radikal dengan sepasang spion yang bentuknya dibuat mirip sayap pesawat jet tempur, tak beda jauh lah dengan versi non-street legal-nya yakni H2R.
Bicara Ninja H2, ternyata Kawasaki sendiri pernah punya motor bernama H2 di tahun 1970-an silam, nama lengkapnya H2 Mach IV 750.
Tentu secara tampang jelas tak mirip dengan H2 versi masa kini.
Kawasaki H2 yang pertama kali dirilis pada 1971 ini punya style motor sport non-fairing, dengan lampu bulat khas di era itu.
Baca Juga: Logo di Emblem Ninja H2R Beda dengan Motor Kawasaki Lain, Ternyata Ini Maknanya
Meski begitu, H2 jadul ini juga sama-sama punya mesin yang sangar lho.
Ia menggendong mesin tiga silinder segaris dengan kapasitas 750 cc, dengan diameter piston 71 mm dan langkah 63 mm di tiap silindernya.
Pengabut bahan bakarnya masih mengandalkan karburator Mikuni VM30SC, dan pakai CDI di sistem pengapiannya.
Pakai mesin itu H2 jadul ini mampu menyemburkan tenaga sebesar 75 dk di putaran mesin 6.800 rpm.
Oh iya, satu hal yang sangar dari motor ini adalah bentuk knalpotnya.
Mesin tiga silindernya membuatnya punya tiga leher knalpot yang uniknya dibagi menjadi satu knalpot berada di sebelah kiri motor, dan dua lainnya berada di sebelah kanan dengan posisi seperti bertumpuk.
Sayangnya, motor ini cuma berumur pendek karena Kawasaki menghentikan produksinya pada 1975.
Salah satu faktornya diduga karena terjadi kelangkaan minyak yang membuat produksi bahan bakar jadi tersendat.
Sementara mesin H2 ini butuh pasokan bahan bakar yang tentunya tak bisa dibilang irit, makanya permintaan konsumen pun terus menurun untuk motor ini.
Editor | : | Dida Argadea |
KOMENTAR