Apalagi kalau ngomongin infrastruktur charging station yang belum banyak. Merujuk data Kementerian ESDM, di 2022 terdapat 961 Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU) dan 439 Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU).
Sedangkan target hingga 2030, Pemerintah menargetkan membangun lebih dari 196.000 SPBKLU dan 48.000 SPKLU.
Kedua kalau bicara urgensinya, pembeli mobil listrik lah yang merasa penting dan akan diuntungkan saat ini. Pasalnya konsumen mobil listrik sudah mulai terbentuk dan pilihan mobilnya juga sudah cukup bervariasi. Satu lagi, mereka sudah percaya dengan brand mobil listrik di Indonesia.
Pasalnya sebagian besar mobil listrik di sini dikeluarkan oleh brand-brand otomotif terkenal atau minimal telah dikenal di Indonesia. Contoh Toyota, Suzuki, BMW, Mercedes-Benz, Nissan, Hyundai atau Wuling.
Namun agak berbeda dengan motor listrik di Indonesia. Pasarnya terbilang masih ‘sepi’. Berdasar data AISI, penjualan motor listrik hingga Juli 2022 sekitar 19.024 unit, atau baru 0,34 persen dari rata-rata penjualan motor dalam lima tahun terakhir.
Penyebabnya, lagi-lagi karena harganya yang masih tinggi dibanding motor mesin konvensional yang rata-rata berada di bawah Rp 20 juta. Sedangkan motor listrik dibanderol di atasnya.
Selain itu, calon pembeli motor listrik itu sepertinya masih ragu dan bingung. Kenapa? Sejak Pemerintah push kendaraan elektrifikasi, cukup banyak merek-merek baru motor listrik tumbuh.
Kalau diperhatikan mulai tahun 2021 hingga akhir 2022 tiba-tiba bermunculan bak jamur. Dimulai oleh Gesits, brand lokal, lalu ada Volta, Niu, Rakata, Davigo, Selis, U-winfly, Charged, United, Polytron dan lainnya.
Editor | : | Panji Maulana |
KOMENTAR