Belum lagi kerap terjadi desakan atau permintaan oknum aparat terhadap petugas ketika menemukan terjadinya pelanggaran, entah dalam bentuk kelebihan muatan, kelebihan dimensi atau keduanya.
"Dengan sistem seperti sekarang, masih membuka peluang untuk melakukan kecurangan dalam pengoperasian jembatan timbang," tutur Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat ini.
Oleh sebab itu, Djoko pun berharap agar sistem, teknologi dan sanksi untuk menangkal truk ODOL ini segera dibenahi.
"Di banyak negara, upaya menekan kendaraan barang ODOL tidak hanya penyempurnaan sistem dan teknologi, akan tetapi juga dibarengi penegakan hukum dengan sanksi pidana maupun denda yang cukup tinggi," papar Djoko lagi.
Enggak cuma itu, Djoko juga meminta agar pemerintah menaikkan besaran sanksi denda bagi para pelaku truk ODOL, untuk memberikan efek jera bagi para pelakunya.
"Membandingkan dengan praktek membendung truk ODOL di mancanegara, sanksi denda cukup tinggi, sehingga dampaknya ada efek jera bagi yang melanggar untuk tidak mengulanginya lagi," pungkasnya.
Saat ini, penegakan hukum kelebihan muatan sudah tercantum dalam UU LLAJ (pasal 307) dikenakan sanksi pidana kurungan 2 bulan atau denda maksimal Rp 500 ribu.
Jika dibandingkan dengan Korea Selatan, bagi pelanggar memanipulasi alat dalam kendaraan dan tidak mematuhi aturan beban, akan diberikan sanksi penjara satu tahun dan denda sekitar 10 juta Won atau setara dengan Rp 145 juta.
Sementara Thailand mengenakan denda mencapai 100.000 Baht atau 3.300 USD yang setara Rp 47,8 juta.
Editor | : | Muhammad Ermiel Zulfikar |
KOMENTAR