(Baca Juga: Jakarta Mau Gelar Balap Formula E? Harus Bangun Sirkuit Jalanan dan Ini Syarat-syaratnya!)
Perbedaan mindset itu lah yang salah satunya menyebabkan polemik penyelenggaraan FE di Jakarta, karena FE dinilai terlalu ‘mahal’ untuk sebuah event olahraga.
Irawan mengungkapkan, event motorsport akan tetap dianggap mahal selama hanya dianggap sebagai olahraga yang tidak dapat dihitung nilainya.
Bukan perhelatan untuk membawa turis asing dan domestik, yang memiliki hitungan untung-rugi yang jelas.
Hal itu juga yang membuat negara-negara lain menyelenggarakan event motorsport di bawah Menpar masing-masing.
Sedangkan event balapan di Indonesia masih berada di bawah Menpora.
(Baca Juga: Dianggap Sukses, Kota Semarang Bakalan Lanjut Gelar MXGP Tahun 2020)
“Kita lihat tetangga yang dekat saja, Singapura, (F1) itu dibawah tourism board. Di Macau, (Macau GP) betul-betul nempel ke tourism, jadi itu kalender tourism-nya Macau, Macau Grand Prix itu setiap tahun ada,” katanya melanjutkan.
Lebih lanjut, ia juga mengatakan kalau perubahan ini terjadi karena tidak cukup hanya mengandalkan heritage tourism, yakni turisme yang mengandalkan budaya saja.
“Karena heritage tourism itu orang datangnya hanya sekali, tapi kalau event seperti F1 itu mereka datangnya berulang, (karena itulah) menjadi (bagian) kalender eventnya negara,” jelas Irawan.
“Makanya saya merasa ‘kok orang Indonesia ngitungnya gak masuk terus tapi di luar negeri masuk terus', jadi cara dia mengemas (event motorsport) itu beda,” tutupnya.
Editor | : | Muhammad Ermiel Zulfikar |
KOMENTAR