"Misalnya gini, di jembatan kan sering ada pemberitahuan bobot maksimal yang mampu ditahan jembatan tersebut misalnya 80 ton, padahal kan aslinya jembatan itu bisa menahan berat lebih banyak. Begitu juga di oli," ucap Yuswidjadjanto saat ditemui GridOto.com.
"Jadi angka harus ganti tiap 10.000 km itu kan sebenarnya dengan pertimbangan plus dan minus, gak benar-benar tepat harus segitu," jelasnya.
(Baca Juga: Blak-blakan Mulyadi Lo: Awalnya Main Aksesori, Sekarang Jadi Spesialis Brand Premium)
Ia pun memberi gambaran pengguna mobil di Jakarta yang sehari-hari terjebak kemacetan.
"Orang di Jakarta ganti oli ngikutin buku manual, tiap 10.000 km, tapi kalau dilihat apakah benar kinerja mesinnya jalan sejauh 10.000km? Kan tidak, Jakarta kan macet melulu," imbuhnya.
"Artinya mesinnya itu sebetulnya sudah jalan lebih dari 10.000 km. Terus, apakah mobilnya rusak? ya enggak juga kan? sebenarnya ya gapapa juga," jelasnya.
Tetapi, ia mengatakan pengguna kendaraan jangan terlampau jauh melewati batas penggantian yang dianjurkan tersebut.
(Baca Juga: Blak-blakan Agus Hermawan: Ini Penyebab Standar Helm SNI Masih Dipandang Sebelah Mata)
Alasannya, lama-kelamaan oli akan menjadi semakin encer.
Jika semakin encer, maka fungsinya sebagai pelindung komponen mesin agar tidak saling bergesekan akan berkurang.
Editor | : | Hendra |
KOMENTAR