Perjalanan di hari pertama memang enggak terasa spesial karena melewati jalur utama Magelang-Salaman-Sapuran hingga Wonosobo.
Karena jalanan ramai sama rombongan kampanye, kami sampai di sebuah rumah makan di Kota Wonosobo pukul 17:30 WIB. Sudah ada 1 Africa Twin yang menunggu disitu milik Bro Yusuf dari ngegas sendiri dari Purbalingga.
Karena target hari pertama cuma sampai ke Dieng, bisa rada santai tuh. Kami baru berangkat lagi dari rumah makan pukul 19:30 WIB karena menunggu Chacha Herdianto, Big Bike Manager dari Astra Motor Jateng yang ngegas sendirian dari Semarang pakai Honda Rebel 500.
"Tadinya ngajak yang lain, tapi pada gak bisa. Mau pake Africa Twin juga males kalau sendirian, ya pakai Rebel ajalah," kekehnya saat bersua dengan GridOto.
Kalau sudah di Wonosobo, perjalanan ke Dieng memang enggak kerasa jauh. Meski malam minggu, jalanan terasa sepi. Apalagi jalannya sudah mulus. Namanya juga rombongan moge-moge yang torsinya badak, enggak ada kendala lewat jalur yang tanjakan terus enggak ada habisnya.
Kebetulan saya yang berada di bagian belakang rombongan senang saja melihat liukan lampu-lampu rem yang seakan berdansa di kegelapan. Naik turun menghilang dan muncul lagi mengikuti kontur jalanan.
Pukul 9 malam kurang sedikit, kami sudah sampai di Dieng. Total perjalanan hari pertama 106 km saja. Jangan tanya dinginnya Dieng seperti apa. Padahal baru jam segitu sudah bikin gravitasi ke selimut meningkat 10 kali lipat.
"Ada tukang mie ongklok tuh, buka 24 jam," kata Bro Eko saat kami sudah santai-santai dan sebenarnya sudah mau tidur di kamar penginapan.
Eh dipanasin kayak begitu, Om Antony, Bro Yusuf, Mas Eko, dan Mas Chacha langsung ambil kunci motor.
(Baca Juga : GOTraveling! Kebun Teh Kemuning Ngargoyoso, Rute Asyik Buat Sunmori dan Uji Torsi)
Pukul setengah 12 malam malah berkeliaran di plato berketinggian 2.100 meter di atas permukaan laut demi semangkuk mie? Ah ini pasti bercanda.
Eh betulan, saya pun kena 'culik' dan ikut makan makanan khas Wonosobo berupa mie yang pakai kuah kanji plus saus kacang itu. Sambil menggigil tentunya.
"Sudah sampe sini kok langsung tidur. Makan dulu lah!" tawa Bro Yusuf yang memang saat turing selalu menyempatkan diri buat mencoba makanan khas daerah yang disambangi.
Selesai makan mie ongklok dan kembali ke penginapan lagi, intip termometer, alamak sudah tembus 11 derajat.
"Ini masih enak mas. Coba kalau datang ke sini bulan Agustus. Bisa minus suhunya," ungkap penjaga penginapan di lobi.
Membayangkannya saja saya sudah kepikiran buat masukin motor ke kamar penginapan dan tidur di kolong motor dekat knalpot.
Untungnya saya bisa tidur pulas malam itu, ketiduran saat mikir bakal lewat rute kayak apa besok, katanya sih bakal spesial banget.
Editor | : | Ditta Aditya Pratama |
KOMENTAR