Sebagai contoh, pada 28 Maret 2015, harga premium di luar Jawa-Bali menjadi Rp7.300 dari sebelumnya Rp 6.800 per liter pada 1 Maret 2015.
Harga Rp 7.300 itu bertahan hingga Mei.
Padahal, jika mengikuti nilai tukar rupiah dan harga minyak waktu itu, harga premium seharusnya Rp 8.000.
Jika harga yang ditetapkan pemerintah lebih rendah dari harga pasar, selisihnya ditutup oleh subsidi yang dibebankan pada APBN.
Karena tidak ada lagi alokasi subsidi untuk bensin premium di APBN 2015, maka selisihnya ditanggung Pertamina.
Ketika harga minyak turun pada awal 2016, harga jual premium tetap.
Tidak turun mengikuti harga minyak di pasaran.
Hal itu sebagai upaya 'bayar utang' pemerintah ke Pertamina.
Strategi ini yang diterapkan pemerintah ketika menghadapi tekanan nilai rupiah.
Selain, ada alasan lain seperti menjaga agar daya beli masyarakat tidak makin turun.
Editor | : | Hendra |
KOMENTAR