Oh ya, salah satu ciri khas motor 2-tak adalah ngebul dari knalpotnya.
Nah itu bukan karena rusak, tapi memang karena efek dari oli samping.
Tidak seperti mesin 4-tak yang hanya menggunakan satu jenis oli mesin saja, pada mesin 2-tak juga dibutuhkan oli samping.
"Motor 2-tak memerlukan oli samping untuk pelumasan komponen mesin seperti piston, ring piston, kruk as, bearing kruk as. Oli ini ikut terbakar di ruang bakar," beber Muhamad Jaji, Servis Advisor Yamaha Harapan Motor, Pancoran Mas, Depok, kepada GridOto.com.
(BACA JUGA: Sulit Mana Naik Motor 2-Tak dan 4-Tak di MotoGP? Ini Jawabannya)
Jelasnya, oli samping yang terbakar di ruang mesin, otomatis akan menghasilkan asap.
Kalau di motor 4-tak mengeluarkan asap dari knalpot, itu jelas ada masalah pada mesinnya.
Istilah 2-tak atau 4-tak kategori mesin motor lebih khusus lebih populer di Indonesia karena resminya disebut 2-stroke atau 4-stroke.
Pertanyaan yang muncul, sebenarnya “Tak” itu dari mana asal usulnya, sehingga bisa sampai disebut-sebut oleh berbagai kalangan masyarakat Indonesia.
Kali ini GridOto akan sedikit mengupas asal usul mengenai hal itu.
Dilansir dari Kompas.com, M Abidin, GM Aftersales and Motorsport Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM) coba memberikan jawaban dari rasa penasaran ini.
Dia menyebut kalau “Tak” itu disebutnya berasal dari bahasa Belanda yang kemudian diserap menjadi istilah umum di tengah masyarakat Indonesia.
“Istilah 2-takt atau 4-takt itu adalah bahasa Belanda yang artinya stroke atau langkah. Seiring dengan waktu, sebutannya menjadi ‘Tak’. Ini sama seperti komponen crankshaft (poros engkol) yang kemudian dikenal di dalam negeri menjadi krukas,” jelas Abidin.
Sekarang udah makin ngerti ya?
(BACA JUGA: Baru Pakai Motor 2-Tak? Hati-hati Menakar Oli Samping, Kalau Enggak Pas Begini Efeknya)
Btw, kamu bisa isengin temen kamu, motor 2-tak itu SOHC apa DOHC?
Kalau masih ada yang jawab SOHC atau DOHC, wah kamu bisa ketawa deh.
Soalnya kan memang mesin 2-tak enggak pakai noken as dan klep Sob! Hehehe...
Editor | : | Ditta Aditya Pratama |
KOMENTAR