Toll sendiri termasuk varian dari 'toln', serumpun dengan kata 'tollr' dari bahasa Norse Lama, 'tolen' dari Frisia Kuno, 'zol' dari Jerman Hulu Kuno, dan kata 'zoll' dalam bahasa Jerman.
Istilah tersebut mungkin merupakan serapan bahasa Jermanik, Awal dari bahasa Latin Akhir 'tolonium' yang bermakna 'rumah pabean' dan bahasa Latin Klasik 'telonium' yang artinya 'tollhouse' atau 'tempat menginap bagi petugas tol'.
Selanjutnya, istilah di atas berasal dari kata 'teloneion' dalam bahasa Yunani yang bermakna 'tollhouse', dari 'telones' yang artinya 'pemungut pajak', serta dari 'telos' dengan arti 'bea, pajak, biaya, ongkos'.
Menurut teori lain, kata 'toll' berasal dari bahasa Jerman asli dan berhubungan dengan kata 'tell', yang berarti 'apa yang dihitung'.
Sementara itu, merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) VI Daring, istilah 'tol' memiliki beberapa arti.
Baca Juga: Terungkap, Inilah Daftar 26 Nama Pengelola Jalan Tol di Jabodetabek
Pertama, tol adalah pajak untuk memasuki jalan tertentu, misalnya jalan bebas hambatan atau jalan layang.
Kata ini juga dimaknai dengan 'jalan yang mengenakan bea bagi pemakainya', 'bea masuk kendaraan dan barang impor lain', atau 'pintu cukai' dan 'gerbang cukai'.
Di sisi lain, KBBI mengartikan 'jalan tol' sebagai 'jalan bebas hambatan'.
"Kata 'tol' kita serap dari bahasa Belanda (bahasa Inggris: toll)," kata Ivan melansir Kompas.com.
Ivan menyampaikan, anggapan bahwa tol singkatan dari tax on location muncul karena ada gejala keratabasa, yakni mengartikan suatu kata sebagai singkatan atau akronim.
Tak hanya kata 'tol', masyarakat juga sering mengalami keratabasa dengan menerangkan arti kata sebagai sebuah singkatan.
Sebagai contoh, istilah 'tumis' yang dianggap sebagai kependekan dari 'tuang minyak sedikit' atau 'perkedel' yang diartikan 'persatuan kentang dan telur'.
"Ini dari dulu sudah ada dan bakal terus ada," tutur Ivan Lanin.