Baca Juga: Maraknya Penipuan Tiket Bus Online, Pelaku Niat Bikin Akun Hingga e-Wallet Atas Nama PO
Namun, laporan PO SAN selalu ditolak penyidik dengan dua alasan utama.
"Kami pernah coba melaporkan pada 6 Juni 2023 ke Polres Jakarta Timur, tapi laporan kami ditolak karena harus (dari) korban langsung. Pada Juni kemarin pun ada pelaporan dari Bengkulu juga tidak bisa, karena nominalnya (kerugian) dianggap terlalu sedikit," ungkapnya dalam sesi bincang bersama media di Jakarta, Selasa (9/7).
Menurut Kuasa Hukum PO SAN, Fadjar Marpaung, laporan tersebut terbentur oleh Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 229 Tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021, Nomor KB/2/VI/2021.
Pada SKB tersebut, terdapat Pendoman Implementasi Poin F yang berbunyi:
"Korban sebagai pelapor harus orang perseorangan dengan identitas spesifik, dan bukan institusi, korporasi, profesi atau jabatan."
Padahal, kata Fadjar, PO SAN sebagai korporasi turut dirugikan karena nama baiknya bisa tercemar di masyarakat.
"Salah satu kejadian waktu di Polres Jakarta Timur, itu pihak kepolisian menolak laporan ini karena harusnya (yang melapor) korban, bukan PO SAN," ucap Fadjar.
"Padahal PO SAN sendiri juga mengalami kerugian, kerugiannya apa? nama baiknya di masyarakat, khususnya untuk para penumpang mereka jadi khawatir naik, itu kan salah satu kerugian yang ingin kami kasih pengertian kepada pihak penyidik ketika kami membuat laporan. Tetapi mereka bersikeras patokannya kepada SKB tersebut," lanjutnya.
Berikutnya, laporan juga ditolak karena dianggap sebagai Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dengan kerugian di bawah Rp 2,5 juta.
"Rata-rata yang kami dapat (kerugian korban) Rp 600 ribu, sampai yang paling tinggi Rp 2,1 juta. Biasanya kalau Tipiring itu diselesaikannya kekeluargaan saja, begitu," lanjutnya.