Setiap memimpin lomba Toddy akan bilang kepada anak buahnya semua pekerjaan berarti.
“Misal Anda hanya bawa bendera, itu bukan pekerjaan remeh karena berpengaruh dalam jalannya
lomba,” ujarnya.
Poin-poin tersebut akan diutarakan untuk memberi mereka dedikasi.
“Kalau kamu bilang kamu capek, saya juga capek. Kalau kamu bilang kepanasan, saya juga kepanasan. Saya bukan model pemimpin lomba yang duduk di dalam tenda sedangkan anak
buahnya kepanasan. Gue akan berdiri bareng sama lu orang di luar. Itu poin-poin saya yang membuat saya kuat di dalam memimpin suatu lomba,” jelasnya.
Setelah kejuaraan dunia itu, contoh tersebut ia bawa setiap memimpin kejuaraan nasional, sehingga meskipun hanya balap lokal, ketegasan ala world championship tetap ia terapkan.
Dirinya mengapresiasi balap motor saat ini, khususnya kejuaran dunia. Di mana peraturan kian ketat dengan penalti yang lebih modern.
Seperti long lap penalty yang ada di MotoGP. Ia menyayangkan kalau sekarang beberapa penyelenggara ada yang menggampangkan ikut balap tanpa KIS (Kartu Izin Balap).
Menurutnya sama seperti naik sepeda motor, harus punya SIM sebelum boleh naik motor.
Humanis
Dirinya menyebut kalau memimpin lomba bukan hanya bertanggung jawab dengan balapannya saja, tetapi secara keseluruhan.
Selain itu, kalau ada pembalap yang melakukan pelanggaran saat balapan, setelah balap diajak
bertemu dan ngobrol, dijelaskan soal salah dan benar. Sehingga tidak ada kesan buruk dan tidak diambil hati.
Atensi-atensi yang Toddy berikan membuat orang mengenalnya tidak hanya sebatas jadi pimpinan lomba. Mereka jadi lebih respect di dalam dan di luar trek.
“Saya selalu berprinsip bahwa yang saya adu adalah manusia, bukan kambing. Sehingga apa yang saya lakukan, yang pertama saya pikirkan adalah safety dari mereka dan penonton,” rinci
pria yang suka mengendarai motor sendiri ini.
Dirinya juga memberi masukan untuk generasi muda yang ingin menjadi pemimpin lomba. Kalau
jadi pimpinan lomba, jadilah orang yang punya martabat bahwa Anda tidak boleh pilih kasih.