Ia tak justru tidak meneruskan usaha ayahnya. Soebronto ditarik pengusaha Atang Latief, pemilik Bank Indonesia Raya, untuk mengelola perakitan sepeda motor Suzuki.
"Berat sekali waktu itu. Kondisi pabrik sangat parah. Untuk merakit sepeda motor saja susah, apalagi belakangan ditantang untuk merakit mobil," kenang Soebronto.
Belajar dari semangat Atang Latief untuk mengambil risiko.
Maka dirakitlah Suzuki pikap ST-20 pada 1978.
Keberanian berbuah spekulasi itu nyatanya memang membentur kenyataan, kendaraan itu tidak laku di pasaran.
Tiba-tiba sebuah berita surat kabar membangkitkan semangatnya.
Sulawesi Utara sedang panen raya cengkeh, muncul idenya, pikap ST-20 sangat cocok untuk pengangkut cengkeh dan komoditas lainnya.
Soebronto lantas mengapalkan puluhan mobil pikap itu ke sana dan berpromosi.
Ternyata, petani cengkeh Minahasa menyambut antusias. Jadilah Suzuki ST-20 laku keras.
Keuntungan dari penjualan di Sulawesi Utara digandakan untuk memproduksi mobil-mobil lain seraya membentangkan pasar.
Upaya itu berhasil, ia mengaku tak pernah lupa pada jasa baik para petani cengkeh Minahasa.
Di dunia roda dua, tangan dingin Soebronto Laras berpengaruh dalam menaikkan brand Suzuki menjadi motor yang bersaing.
Mencanangkan slogan Inovasi Tiada Henti, PT Indomobil Suzuki International (PT ISI), tak henti-hentinya membuat terobosan.
Utamanya di sektor roda dua, Suzuki terus memperkuat jaringan pemasaran dengan konsep pelayanan satu atap dan sudah berjalan sejak 1993.
Namun, segala cerita tersebut kini hanya menjadi kenangan. Soebronto meninggal pada usia 79 tahun.
Selamat jalan Soebronto Laras, kami segenap redaksi GridOto.com turut berduka.