GridOto.com- Usulan mengenai penghapusan Pajak Progresif sedang bergema.
Pihak Kepolisian, utamanya mengusulkan mengenai penghapusan ini.
Dirregident Korlantas Polri, Brigjen Yusri Yunus, mengatakan pihaknya sudah mengusulkannya.
"Keputusan di tangan pemerintah daerah," jelas Brigjen Yusri.
Pelaksanaan Pajak Progresif ini memang sudah cukup lama.
Jika dilihat dari aturannya, Pajak Kendaraan Bermotor untuk kepemilikan kedua, ketiga dan seterusnya mulai ramai diwacanakan pada medio 1990-an.
Dalam Tabloid Otomotif Edisi No. 40/IV, Senin 3 April 1995 dimuat mengenai artikel mengenai Pajak Progresif untuk kendaraan.
Salah satu alasan penerapan Pajak Progresif khusus wilayah Jakarta untuk mengatur keberadaan kendaraan pribadi.
Zoemrotin K. Soesilo, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YKLI) ketika itu menyoroti mengenai langkah penerapan itu.
"Kok saya pesimis jika tak ada rencana konkret soal angkutan umum," katanya.
Baca Juga: Sambut Baik Wacana Penghapusan Pajak Kendaraan Progresif, Honda Bakal Pantau Perkembangannya
Ketika itu, data DPRD, jumlah kendaraan bermotor di ibu kota dan sekitarnya ditaksir 1,8 juta unit.
Sebanyak 80% di antaranya milik pribadi dengan laju peningkatannya per tahun mencapai 14%.
Ironisnya, hanya 4% penambahan jaringan jalan per tahun.
Pada akhirnya, wacana itu urung dilaksanakan.
Sebab, di dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, tidak ada keterangan mengenai aturan Pajak Progresif yang menjadi payung hukum.
Dalam pasal 3 ayat (1) huruf a hanya disebutkan tarif pajak ditetapkan paling tinggi 5 persen untuk Pajak Kendaraan Bermotor.
Lama menjadi wacana lebih 10 tahun kemudian, sesudah era Orde Baru wacana Pajak Progresif ini baru mendapatkan payung hukum.
Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah disebutkan mengenai Pajak Progresif ini.
Dalam Pasal 6 (1) disebutkan Tarif Pajak Kendaraan Bermotor pribadi ditetapkan sebagai berikut:
Huruf a dinyatakan untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor pertama paling rendah sebesar 1% (satu persen) dan paling tinggi sebesar 2% (dua persen).
Sementara huruf b untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor kedua dan seterusnya tarif dapat ditetapkan secara progresif paling rendah sebesar 2% (dua persen) dan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
Sementara di ayat (5) disebutkan penetapan Tarif Pajak Kendaraan Bermotor menjadi kewenangan peraturan daerah.
Kemudian untuk wilayah Jakarta, penerapan Pajak Progresif dimulai sejak turunnya Peraturan Daerah No. 8 Tahun 2010 mengenai Pajak Kendaraan Bermotor.
Dalam pasal 7 ayat (1) disebutkan Tarif Pajak Kendaraan Bermotor kepemilikan oleh orang pribadi ditetapkan.
Untuk kepemilikan kendaraan bermotor pertama, sebesar 1,50%.
Sementara untuk kepemilikan kendaraan bermotor kedua, sebesar 2%.
Untuk kepemilikan kendaraan bermotor ketiga, sebesar 2,50%.
Dan untuk kepemilikan kendaraan bermotor keempat dan seterusnya, sebesar 4%.
Kemudian pada 2015 aturan penetapan tarif Pajak Progresif berubah.
Pada pasal 7 ayat (1) disebutkan kepemilikan pertama ditetapkan tarif 2 persen, dan tiap kepemilikan berikutnya naik sebesar 0,5 persen.
Kini, pihak Kepolisian berharap penetapan Pajak Progresif ini bisa dihapus.
Adapun maksud penghapusan ini untuk menata ulang kepemilikan kendaraan.
"Kami memerlukan validasi kepemilikan, kemarin adanya penetapan Pajak Progresif ini banyak data kepemilikan yang tidak valid karena penggunaan nama orang lain sebagai pemilik kendaraan kedua dan seterusnya," jelas Brigjen Yusri.
Jika dilihat tujuan, aturan ini untuk mengatur kepemilkan kendaraan agar tidak terjadi kemacetan, sepertinya gagal.
Apakah wacana penghapusan ini berhasil? Kita lihat!