Kesimpulannya, tekanan ban malah menuju ke angka yang berbahaya jika standar awalnya dinaikkan.
"Di sesi latihan, tekanan ban depan tak pernah terlalu rendah karena tak ada pembalap di depanmu, jadi angkanya normal dan rendah," kata Brad Binder dilansir GridOto.com dari Speedweek.
"Alasan terjadinya penggembosan di musim lalu, karena kau harus start dengan tekanan ban serendah mungkin. Karena jika ada musuh dekat di depanmu, maka tekanan ban akan naik," jelasnya.
Sedangkan menurut Paul Trevathan, kepala kru Pol Espargaro, penurunan tekanan ban sebenarnya tak menguntungkan siapa-siapa.
Karena penggunaannya hampir dilakukan seluruh tim, demi mengurangi dampak negatif peningkatan tekanan signifikan saat balapan.
"Di beberapa trek, sebaliknya kadang juga motor hanya bisa bekerja dengan tekanan ban depan lebih tinggi dari seharusnya. Di sisi lain, tak mau ada yang sampai melebihi tekanan 2,2 bar, karena motornya menjadi sulit dikontrol," ujar Paul.
"Tapi memang ada beberapa rider yang bisa mengatasi hal itu lebih baik dari lainnya, itu fakta. Mereka bisa melaju dengan lebih aman meski tekanannya tinggi, itu soal gaya balap. Tapi tetap ini rumit buat semua pabrikan, dan berbahaya buat rata-rata pembalap," jelasnya.
Para pembalap pun dilanda kekhawatiran, karena potensi crash semakin besar dengan tekanan ban depan yang terlalu tinggi.
Namun pihak MotoGP juga tak mau memaksakan aturan ini jika memang banyak yang keberatan.
Baca Juga: Ngeri, Video Motor Meledak di Belakang Pembalap MotoAmerica yang Sedang Wawancara
"Jika percobaan ini tak mulus di tiga seri pertama dan tak semua tim nyaman dengan ini, maka kami hanya perlu mencobanya lebih lama," kata Danny Aldridge, Direktur Teknis MotoGP.
"Kita tak terlalu serius harus langsung menerapkannya setelah tiga seri awal, kita masih bisa menunggu lebih lama," tuntasnya.