Di Austria, kegagalan keandalan mesin untuk terakhir kalinya, Carlos Sainz tersingkir di tahap penutup balapan setelah mobilnya terbakar.
Tim juga menerima banyak grid penalty di paruh kedua musim yang membuat pembalapnya tidak bisa bersaing untuk meraih kemenangan.
Grid penalty yang membuat pembalap mundur posisi start atau start dari belakang, karena banyak spare part yang harus diganti, termasuk memasang mesin baru.
Hal itu membuat Ferrari sulit untuk mengantar pembalapnya finish di podium.
Akibatnya, kemenangan tidak lagi datang di paruh kedua musim.
Tidak hanya keandalan yang menjadi masalah besar bagi Ferrari, bahkan lebih buruk adalah dalam hal pilihan strategi.
Ferrari berkali-kali memilih ban yang salah atau tim sering memanggil pembalap terlambat untuk melakukan pit stop.
Contohnya di Monako, terjadi kekacauan pada pit stop untuk Leclerc, akibatnya pembalap tuan rumah ini gagal mengubah startnya yang dari pole position menjadi kemenangan.
Baca Juga: Setara Dua Orang Bos, Ferrari Masih Kesulitan Mencari Pengganti Mattia Binotto
Dalam hal pilihan strategi, Leclerc dan Sainz tidak selalu bisa mempercayai tim, tetapi pit stop Ferrari terkadang juga dipertanyakan.
Tim Ferrari sering menjalani pit stop jauh lebih lambat dari yang direncanakan.
Di Belanda, misalnya, Sainz masuk ke pit lane sementara tim hanya menyiapkan tiga ban, membuat pembalap Spanyol itu harus menunggu lebih dari 12 detik untuk bannya.
Sementara Leclerc dan Sainz telah menanggung beban kesalahan Ferrari berkali-kali, kedua pembalap ini juga membuat kesalahan mereka sendiri.
Sainz keluar dari balapan total enam kali pada tahun 2022, hanya dua di antaranya karena keandalan yang buruk dari mesin Ferrari.
Leclerc crash tiga kali pada tahun 2022 ini.
Jelas, perubahan diperlukan dalam tim Ferrari jika ingin memperebutkan gelar lagi tahun depan setelah musim 2022 yang dramatis.
Kepergian Mattia Binotto tampaknya menjadi langkah pertama, tetapi masih ada banyak lagi yang perlu diubah jika Ferrari ingin bersaing dengan Red Bull.