“Kami menggunakan kayu dolken sebagai cerucuk, yang kemudian ditambah lagi oleh matras bambu di atasnya jika kondisi tanah masih kurang kokoh,” kata Dino.
Kayu dolken sendiri dipilih sebagai cerucuk atau fondasi yang ‘mengikat’ kepadatan tanah karena bisa dipersiapkan dan dipakai dalam waktu singkat.
Mengingat waktu penyelenggaraan Formula E Jakarta yang tinggal tiga bulan lagi, kayu dolken pun dipilih ketimbang alternatif lainnya yaitu beton.
Selain waktu persiapan yang lebih singkat, Dino juga mengatakan bahwa tidak seperti beton, kayu dolken malah semakin kuat kalau terkena air.
Oleh karena itu, tidak heran kalau kayu dolken atau sering disebut juga sebagai kayu gelam lazim digunakan sebagai bahan bangunan, terutama di daerah pesisir.
Sifat tersebut menjadi penting, mengingat tanah di daerah Ancol di mana sirkuit Formula E Jakarta dibangun banyak mengandung air.
Kayu dolken yang dipakai dalam konstruksi sirkuit Formula E Jakarta di Ancol sendiri diambil dari banyak daerah di Indonesia seperti Sumatera, Kalimantan, dan daerah-daerah lainnya.
“Yang orang masih sering salah paham itu soal bambu yang katanya jadi fondasi untuk aspal nantinya,” tukas Dino.
“Hal tersebut tidak benar, bambu itu hanya dipakai untuk membantu kayu dolken ini menstabilkan tanah yang atasnya akan kami bangun,” jelasnya.
Setelah distabilkan oleh kayu dolken dan matras bambu, mereka pun bisa mulai ‘menyusun’ lapisan-lapisan dasar sebelum lintasan bisa diaspal.
“Dari bawah ke atas susunannya sendiri adalah limestone (batu kapur), geotextile, kerikil base B yang lebih besar dan kasar, lalu kerikil base A yang lebih kecil dan halus,” ujar Dino.
“Setelah itu akan dilapis primer dan barulah dilapisi dua jenis aspal, yaitu aspal ACBC (Asphaltic Concrete Binder Course) dan yang teratas adalah aspal ACWC (Asphalt Concrete Wearing Course),” tutupnya.