GridOto.com – Isu transisi energi belakangan kencang dihembuskan oleh pemerintah maupun penggiat lingkungan. Sebagai informasi, transisi energi memiliki tujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca demi membatasi perubahan iklim.
Dilansir dari laman platform transisienergi.id, diketahui bahwa peningkatan suhu global 90 persen disebabkan oleh aktivitas manusia. Adapun kondisi ini disebabkan oleh tingginya gas polutan di udara, seperti karbon dioksida, metana, nitrogen oksida, dan aerosol.
Dengan adanya risiko tersebut, transisi energi dipercaya mampu menekan hingga 2 derajat Celcius suhu Bumi secara global. Oleh sebab itu, pemanfaatan energi yang bersih (clean energy) menjadi urgensi. Salah satu yang saat ini tengah dikembangkan adalah baterai untuk menghasilkan tenaga listrik.
Dilansir dari laman World Economic Forum (WEF), pendiri dan ketua Battery Associates dr Simon Engelke mengatakan, industri baterai saat ini menjadi solusi untuk mendukung transisi energi. Utamanya, pada kendaraan konvensional seperti mobil.
Baca Juga: Honda Vario 150 Proper, Bodi Nardo Grey Oranye Plus Akesori Sporty
Berdasarkan laporan Electric Vehicle Outlook 2021 milik Bloomberg NEF, transportasi nol emisi dari mobil bertenaga listrik akan diadopsi penuh pada 2050. Menariknya, 60 persen adopsi mobil jenis ini pun diperkirakan akan diadopsi banyak orang pada 2030.
Senada, laman Statista turut mengungkapkan bahwa pada 2030, permintaan baterai untuk kebutuhan moda transportasi diperkirakan akan mencapai angka 9.300 giga-watt hour (GWh) secara kumulatif.
Konsep penggunaan baterai sebagai sumber tenaga kendaraan sebenarnya mirip dengan bahan bakar fosil. Sebagai informasi, saat ini baterai yang digunakan dalam mobil bertenaga listrik (electric vehicle) berbahan Lithium ion dan dapat diisi ulang dengan metode pengecasan.
Lithium ion, kata Simon, digunakan karena kemampuannya untuk menyimpan lebih banyak energi dibanding baterai berbahan lain, seperti asam timbal.