GridOto.com - Para pelaku otomotif Indonesia telah mengeluarkan berbagai produk mobil listrik dan elektrifikasi baru di tahapan awal era kendaraan listrik dan elektrifikasi Tanah Air.
Tentu saja, hal tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh regulasi dan insentif yang dikeluarkan pemerintah untuk mempercepat pertumbuhan mobil listrik dan elektrifikasi di Indonesia.
Tercatat, beberapa merek besar seperti Toyota, Lexus, Hyundai, BMW dan Nissan telah meluncurkan produk elektrifikasi mereka mulai dari hybrid, plug-in hybrid sampai battery electric vehicle (BEV).
Kukuh Kumara selaku Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) menilai bahwa fenomena tersebut merupakan suatu hal yang baik.
Baca Juga: Skema Pajak Mobil Elektrifikasi Berlaku Oktober 2021, GAIKINDO: Sekarang Bola Ada di Tangan Pabrikan
“Karena kita juga harus seirama dengan (industri otomotif) global, yang bergerak ke arah kendaraan ramah lingkungan,” ujarnya kepada GridOto.com (14/1/2021).
Tapi ketika ditanya apakah industri otomotif Indonesia harus sepenuhnya berkomitmen di kendaraan listrik dan elektrifikasi, Kukuh mengaku kurang setuju.
Apalagi, menurutnya Indonesia masih punya banyak faktor yang harus dipenuhi untuk memfasilitasi pergeseran tersebut.
“Faktor seperti kesiapan infrastruktur, teknologi, dan masyarakatnya sendiri, apakah masyarakatnya sudah bisa menerima (mobil listrik dan elektrifikasi) dengan baik atau belum?” papar pria yang sebelumnya pernah menjabat di bagian SDM GAIKINDO itu.
Kukuh juga mengingatkan, pertumbuhan populasi kendaraan listrik bukanlah sesuatu yang terjadi dalam kurun waktu singkat.
Menurut pengamatannya, mobil listrik masih menjadi minoritas di negara-negara yang sering menjadi tolok ukur mobil listrik di Indonesia.
“Tetangga kita yaitu Australia punya pasar mobil yang hampir sama dengan Indonesia, sekitar 1,3 juta unit per tahun. Tapi dari jumlah tadi, mobil listrik hanya menyumbang sekitar 17 ribu unit atau tidak sampai 1 persen,” jelasnya.
Contoh lain yang ia gunakan adalah China, negara yang notabene merupakan salah satu produsen mobil listrik dengan volume terbesar di dunia yaitu sekitar 1 juta unit per tahunnya.
Tapi dalam konteks penjualan mobil secara keseluruhan di China, angka satu juta masih terbilang kecil mengingat industri otomotif negara Tirai Bambu tersebut mampu menjual 28 juta unit mobil per tahunnya.
Baca Juga: Saingan Tesla Bermunculan, BAIC Motor Perkenalkan Mobil Listrik Konsep Bernama Radiance
“Angka satu juta tadi juga sangat terbantu oleh kematangan infrastruktur, teknologi, kapasitas produksi, dan kemampuan kapital China,” papar Kukuh.
“Makanya saat muncul target pembuatan mobil listrik nasional, saya pikir teknologi kita masih belum betul-betul matang untuk itu,” lanjutnya.
Oleh karena itu, ia menilai bahwa pemerintah sebaiknya memprioritaskan pengembangan komponen untuk produksi mobil listrik dan elektrifikasi di Indonesia.
“Menurut saya lebih baik mengejar pengembangan komponen-komponennya (produksi mobil listrik),” tukas Kukuh.
Langkah tersebut sejatinya juga sudah dilakukan oleh pemerintah Indonesia, salah satu yang paling signifikan tentu saja terkait persiapan pembangunan pabrik baterai untuk mobil listrik.
Pemilihan tersebut tidak mengherankan, mengingat Indonesia merupakan salah satu produsen dan importir nikel terbesar di dunia.
Sedangkan nikel merupakan salah satu bahan baku terpenting dalam pembuatan baterai Lithium-Ion yang digunakan nyaris seluruh kendaraan listrik yang dijual saat ini.
“Mau siapa pun yang mengembangkan mobilnya, kalau baterainya dari Indonesia kan itu tetap menjadi hal yang luar biasa,” ujar Kukuh.
Baca Juga: Ketua Umum PP IMI Bambang Soesatyo Bertekad Jadikan Indonesia Kiblat Kendaraan Listrik Dunia
Ia mencontohkan Taiwan, yang berhasil menjadi salah satu pemain terbesar dalam industri otomotif dunia sebagai pemasok komponen elektronik mobil yang berkualitas.
Tapi apapun langkah yang nantinya diambil pemerintah, Kukuh menegaskan bahwa Indonesia harus menjadi bagian dalam elektrifikasi industri otomotif dunia.
“Pergerakan industri otomotif Indonesia ke arah elektrifikasi tetap wajib ada, tapi langkahnya harus realistis,” ujar pria yang sudah menjabat sebagai sekjen GAIKINDO sejak 2016 itu.
“Jangan sampai momen elektrifikasi ini hanya menjadi euforia,” pungkasnya.