GridOto.com - Seiring dengan banyaknya kendaraan yang dijual di Indonesia, turut berdampak kepada ketersediaan suku cadang yang semakin beragam.
Bahkan, tak jarang oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab memanfaatkannya untuk menjual 'barang sampah' dengan harga miring di pasaran maupun situs belanja online.
Seperti yang tim GridOto.com temukan saat melakukan investigasi di salah satu situs belanja seperti Tokopedia, Bukalapak, Blibli dan lainnya.
Anehnya, kami menemukan beberapa akun yang menjual sokbreker belakang untuk Toyota Avanza dengan banderol miring, yakni mulai Rp 100 ribu hingga Rp 250 ribuan.
Baca Juga: Belanja 'Barang Sampah' Buat Kendaraan di Situs Belanja Online, Untung atau Buntung?
Padahal harga normalnya untuk saat ini berada di kisaran Rp 450 ribuan.
Menanggapi permasalahan tersebut, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, pun angkat bicara.
"Itu sokbreker KW alias abal-abal. Sebaiknya konsumen jangan tergiur dengan harga murah tapi tidak standar," kata Tulus kepada GridOto.com, Selasa (7/7/2020).
"Karena pertaruhannya bukan hanya kenyamanan, tapi juga soal keamanan dan keselamatan konsumen," imbuhnya.
Baca Juga: Banyak yang Belum Tahu, Pakai Koil Palsu Bisa Bikin ECU Rusak
Menurut Tulus, hal tersebut tentunya dapat merugikan konsumen maupun produsen kendaraan itu sendiri.
Untuk itu, ia menyarankan supaya lebih teliti sebelum membeli suku cadang yang sesuai dengan kebutuhan agar terhindar dari sparepart palsu.
"Ada beberapa hal yang perlu YLKI soroti adalah dari segi konsumen. Ketika konsumen membeli tentu punya kebebasan berbelanja. Jadi konsumen ini membeli sesuatu barang itu berdasarkan apa yang ia butuhkan," ucapnya.
Hal senada juga dikatakan oleh Agus Suyatno, selaku Pengurus Harian YLKI.
Baca Juga: Bohlam LED Osram Ternyata Ada Palsunya, Kenali Ciri-cirinya !
Ia mengatakan, ketika membeli suatu barang tentu saja ada pertimbangan yang harus diperhatikan oleh konsumen.
"Salah satunya adalah bagaimana konsumen mendapatkan informasi yang jelas, benar dan jujur karena ini diatur dalam undang-undang," papar Agus.
"Jadi ketika konsumen tidak mendapatkan informasi yang sebenarnya tentu ini akan mencederai prinsip kebebasan belanja konsumen itu sendiri," tandasnya.