Mobil Listrik Nasional. Antara Mimpi dan Realita

Bimo Aribowo - Jumat, 6 September 2019 | 17:10 WIB

Aburizal Bakrie (kedua dari kanan). Sempat menjajaki mobnas Bakrie B97 (Bimo Aribowo - )

GridOto.com – Regulasi percepatan kendaraan berbasis baterai memicu harapan mobil nasional (mobnas) bertenaga listrik.

Di era mobil bermesin bakar konvensional, Indonesia tertinggal jauh di rancang bangun mesin bakar.

Ketika era mobil listrik, ketertinggalan tersebut menjadi lebih dekat.

Perkembangan teknologi mobil listrik di produsen-produsen mobil listrik dunia masih tak terlampau jauh.

Bisa dibilang teknologi mobil listrik baru mulai berkembang 5 tahun belakangan ini.

Bukan lagi Eropa, Amerika Serikat atau bahkan Jepang yang jadi pionirnya. Namun Cina yang mengalami perkembangan pesat.

Tak seperti mobil bermesin bakar. Mobil listrik memiliki komponen yang jauh lebih sedikit dan sederhana.

Mesin bakar digantikan motor listrik dan baterai. Tidak ada transmisi, saluran gas buang knalpot dan tangki BBM.

Pendek kata, jika Indonesia berniat serius mengejar ketertinggalan di industri mobil nasional masih punya peluang.

Dokumentasi OTOMOTIF
Bimantara Cakra dan Nenggala kerja sama dengan Hyundai

Tapi tentu tidak mudah. Membuat mobil bukanlah seperti membuat mainan meski komponen mobil listrik lebih sederhana.

Mobil listrik tetaplah mobil. Dia perlu desain tampilan, kenyamanan berkendara dan standar keamanan minimal. Bukanlah sekadar bisa jalan.

Tidak mudah membuat mobil dengan tingkat kenyamanan dan standar keamanan yang baik.

Bukan hal mustahil asal ada sejumlah syarat untuk mempercepat mimpi mobnas listrik.

Mobnas yang saya maksud adalah mobil bermerek nasional, dikekola oleh orang lokal dan memakai komponen mayoritas lokal.

Membangun industri otomotif terutama mobil perlu juga memikirkan industri pendukungnya.

Tidak mungkin seluruh komponen yang jumlahnya mencapai ribuan dapat dikerjakan oleh sebuah perusahaan mobil. Pasti perlu suplier.

Rantai industri ini di Indonesia dikuasai oleh pabrikan Jepang atau kerja sama dengan perusahaan Jepang.

Maklum saja, selama ini industri mobil di Tanah Air didominasi merek Jepang.

Dokumentasi OTOMOTIF
Timor S515i terganjal kasus hukum

Jika mobnas listrik ingin diwujudkan tak ada jalan lain selain bekerja sama dengan pabrikan mobil yang lebih dulu mapan.

Ini penting sebagai transfer teknologi. Tanpa ini sulit membayangkan industri mobnas bisa tumbuh dalam waktu cepat.

Jika mau idealis, bisa saja memulai dari nol tapi punya konsekuensi lama untuk bisa tumbuh.

Di era digital yang serbacepat, kita tak punya waktu lagi. Siapa cepat dia yang akan unggul.

Banyak contoh industri otomotif yang sudah berkembang berkat kerja sama.

Seperti Hyundai dan Proton dengan Mitsubishi. Juga banyak produsen lokal Cina dengan pabrikan mobil dunia.

Paling dekat contohnya saat Timor menggandeng KIA dan Bimantara dengan Hyundai.

Sayangnya proyek Timor dan Bimantara tak berlanjut dengan sejumlah alasan.

Kerja sama dengan produsen mobil yang lebih mapan membuat proses pembelajaran bisa berlangsung cepat.

Ada cara lain seperti yang dilakukan pemerintah Cina. Mereka cepat sekali membangun industri mobnasnya. Bahkan saat ini unggul di sektor mobil listrik.

Cina mewajibkan semua produsen mobil asing untuk menyerahkan paten mobil bikinannya ke pemerintah dalam periode tertentu.

Paten cara membuat mobil inilah yang disalurkan oleh pemerintah ke industri lokal yang punya potensi.
Contoh sebuah perusahaan yang punya keunggulan di sektor rancang bangun baterai. Namun tak punya keahlian membuat mobil.

Lewat bantuan pemerintah, perusahaan tersebut mendapat ilmu cara membuat mobil. Sehingga mampu memodifikasi mobil bermesin konvensional dengan tenaga baterai.

Lantas bagaimana di Indonesia yang tak punya sistem paten seperti itu? Kerja sama alih tekonologi lah yang jadi incaran.

Dokumentasi OTOMOTIF
Mazda MR90 kolaborasi Indomobil dengan Mazda

Kepada siapa industri otomotif kita harus berkiblat? Rasanya Eropa masih unggul soal rasa berkendara. Jepang unggul di efisiensi produksi. Cina superior di teknologi baterai mobil listrik.

Ketiga negara itulah kita harus dapat mengambil keuntungan. Itu jika kita berniat membangun industri mobnas yang andal dan dapat bersaing secara global.

Jika tidak pun juga bukan masalah. Toh selama ini kita sudah mengkonsumsi mobil merek asing yang dibuat di dalam negeri.

Tapi masih iya seterusnya kita akan jadi negara pasar saja. Apalagi di era mobil listrik, jarak ketertinggalan kita tak sejauh di era mobil bermesin bakar.

Tambah lagi kabarnya kita memiliki cadangan bahan baku pembuat baterai yang melimpah.

Seperti diketahui hampir 50-60% komponen di mobil listrik terdiri dari baterai.

Artinya potensi peran Indonesia di era mobil listrik cukup besar.

Bahkan Tesla pun mendapat pasokan bahan baku dan baterainya dari Morowali, Sulawesi Tengah.

Dikabarkan menyusul VW dan Mercedes-Benz akan mendirikan pabrik baterai lithium di sana.

Morowali memiliki cadangan bahan baku pembuat baterai lithium yang cukup besar.

Tentunya kita tidak cukup puas hanya sekadar jadi pengekspor baterai mobil listrik.

Dokumentasi OTOMOTIF
Maleo gagasan BJ Habibie terkendala krisis moneter 1998

Mimpi mobnas di Indonesia memang sudah terlalu lama. Sebelum era Timor (S515) dan Bimantara (Cakra dan Nenggala), masih banyak yang lain.

Di tahun 1990-an, ada kerja sama grup Indomobil dengan Mazda lewat MR90.

Menristek (kala itu) BJ Habibie dengan Maleo yang mirip Chrysler Neon.

Bahkan grup usaha Bakrie sempat bekerja sama dengan Renault MPV (model Espace) yang dilabeli B97.

Belum lagi yang lain seperti Arina, Texmaco dan yang paling terakhir Esemka.

Masihkan kita mau terus bermimpi di era mobil listrik yang tinggal sebentar lagi? ***


*Penulis adalah wartawan otomotif sejak tahun 2000 di beberapa media grup Kompas Gramedia, seperti tabloid Otomotif, majalah Otosport, majalah Auto Bild Indonesia dan saat ini di GridOto.com.