Kepada siapa industri otomotif kita harus berkiblat? Rasanya Eropa masih unggul soal rasa berkendara. Jepang unggul di efisiensi produksi. Cina superior di teknologi baterai mobil listrik.
Ketiga negara itulah kita harus dapat mengambil keuntungan. Itu jika kita berniat membangun industri mobnas yang andal dan dapat bersaing secara global.
Jika tidak pun juga bukan masalah. Toh selama ini kita sudah mengkonsumsi mobil merek asing yang dibuat di dalam negeri.
Tapi masih iya seterusnya kita akan jadi negara pasar saja. Apalagi di era mobil listrik, jarak ketertinggalan kita tak sejauh di era mobil bermesin bakar.
Tambah lagi kabarnya kita memiliki cadangan bahan baku pembuat baterai yang melimpah.
Seperti diketahui hampir 50-60% komponen di mobil listrik terdiri dari baterai.
Artinya potensi peran Indonesia di era mobil listrik cukup besar.
Bahkan Tesla pun mendapat pasokan bahan baku dan baterainya dari Morowali, Sulawesi Tengah.
Dikabarkan menyusul VW dan Mercedes-Benz akan mendirikan pabrik baterai lithium di sana.
Morowali memiliki cadangan bahan baku pembuat baterai lithium yang cukup besar.
Tentunya kita tidak cukup puas hanya sekadar jadi pengekspor baterai mobil listrik.
Mimpi mobnas di Indonesia memang sudah terlalu lama. Sebelum era Timor (S515) dan Bimantara (Cakra dan Nenggala), masih banyak yang lain.
Di tahun 1990-an, ada kerja sama grup Indomobil dengan Mazda lewat MR90.
Menristek (kala itu) BJ Habibie dengan Maleo yang mirip Chrysler Neon.
Bahkan grup usaha Bakrie sempat bekerja sama dengan Renault MPV (model Espace) yang dilabeli B97.
Belum lagi yang lain seperti Arina, Texmaco dan yang paling terakhir Esemka.
Masihkan kita mau terus bermimpi di era mobil listrik yang tinggal sebentar lagi? ***
*Penulis adalah wartawan otomotif sejak tahun 2000 di beberapa media grup Kompas Gramedia, seperti tabloid Otomotif, majalah Otosport, majalah Auto Bild Indonesia dan saat ini di GridOto.com.