"Bus ini dibuat untuk menarik minat masyarakat, bus harus dilengkapi AC," ujar Soeprapto dalam Kompas edisi 7 Agustus 1984.
Hal tersebut didukung PPD yang merencanakan bus ini bakal beroperasi di jalur-jalur padat kendaraan di pusat perdagangan dan perkantoran di ibu kota.
Sebab waktu itu bus Patas tanpa AC dicap gagal mencapai misinya sebagai bus kaum eksekutif agar meninggalkan kendaraan bermotor pribadi miliknya untuk beraktivitas.
Patas yang artinya cepat dan terbatas, berubah kelewat batas. Seperti ngetem sembarangan, kotor dan berhenti sembarangan layaknya bus reguler lainnya.
(Baca Juga: Keren Nih! Naik Bus di Surabaya Bayar Pakai Sampah, Malah Jadi Perhatian Dunia)
Akhirnya bus Patas AC PPD RMB beroperasi dari Blok M ke Kota, kursinya empuk, kacanya agak gelap agar penumpang tidak silau, pendingin udara juga membuat penumpang nyaman bahkan bisa tertidur pulas saat kemacetan saat ditengah teriknya cuaca Jakarta.
Bus ini juga memiliki kapasitas lebih sedikit dibanding bus Patas non-AC, yaitu 34 kursi dengan formasi bangku 2-2 serta jarak antarkursi yang lebih luas sehingga kaki penumpang leluasa.
Sampai akhirnya di tahun '90-an bus ini akhirnya mendapat perhatian dari masyarakat yang ingin menikmati kenyamanannya.
Namun seiring berjalannya waktu dan perubahan kondisi di jalan akhirnya bus kota mulai tergeser dengan hadirnya TransJakarta.
TransJakarta atau masyarakat sering menyebutnya busway, dinilai dapat menerobos kemacetan karena memiliki jalur khusus serta memiliki tingkat keamanan dan kenyamanan yang lebih baik.