"Saat ini yang menjalankan SNI itu Kementerian Perindustrian. Secara aturan ini ilegal," jelas Paul.
Menurutnya aturan UU Migas tahun 1998, kewenangan mengenai penentuan mutu, turunan minyak bumi adalah Kementerian ESDM.
"Menurut Keppres 21 tahun 2001 dan Keputusan bersama 3 menteri yakni Keuangan, ESDM dan Perindustrian Perdagangan, kewenangan penentuan persyaratan mutu minyak bumi berada di Menteri ESDM," kata Paul.
Kedua, sisi perlindungan konsumen.
"Secara teknis tidak ada pertambahan. Karena persyaratan perlindungan konsumen ada di NPT atau Nomor Pelumas Terdaftar," jelasnya.
NPT menurut Paul sudah mengambil rujukan standar internasional untuk pelumas.
"Jadi apa yang distandarkan SNI itu sudah ada di NPT," tegas Paul.
(BACA JUGA:Seken Keren: Cari Matik Eropa Seken? Nih Salah Satu Pilihannya)
Pemberlakuan SNI ini tentu ada dampak biaya.
Untuk pembuatan sertifikasi SNI ini di Indonesia berkisar Rp 500 juta per SKU (Stock Keeping Unit) per empat tahun.
“Jika setiap perusahaan pelumas mempunyai 40 SKU pelumas yang kena SNI Wajib, maka biaya yang perlu ditanggung bisa Rp 20.000.000.000," ujar Paul.
“Tentu ini akan mengurangi daya saing perusahaan kecil dan menengah, karena biaya itu pasti masuk harga dan dibebankan kepada konsumen. Artinya, akan terjadi persaingan yang tidak sehat”, lanjutnya.
Paul mengilustrasikan jika SNI ini jadi diterapkan, maka akan banyak produsen oli yang tutup.
"Biaya SNI tentu akan dibebankan ke konsumen. Kenaikan harga tergantung seberapa banyak produksi yang dilakukan. Makin sedikit produksi kenaikan makin tinggi," ungkapnya.
Karenanya, mayoritas stakeholder, dalam hal ini perusahaan pelumas secara berulang menyatakan penolakannya.
"Mereka tak sanggup," tutup Paul Toar.