Ia mengaku pernah tersasar ke daerah lain yang membuatnya kehilangan konsumen.
"Jemputnya di Jakarta Timur, tetapi arahnya dikasih ke utara ke kawasan Cempaka Putih gesernya sampai 9 km lebih," kata Marlin.
Ia mengatakan, kondisi tersebut kerap terjadi karena beberapa hal.
Mulai dari GPS yang kurang update sampai perilaku konsumen yang tidak detail mencantumkan titik jemput atau pengantaran.
"Biasanya ada nama jalan dan gang yang sama, satu di Utara satu di Timur. Nah, ini kalau tidak diperhatikan sama konsumen bisa terbalik, kami juga jadi bingung kan," ucapnya.
Ia lebih memilih cara konvensional dengan langsung bertanya kepada konsumen atau kepada orang lain di jalan.
"Lebih baik minggir nanya sama orang dari pada andelin GPS. Kalau sudah mentok banget, baru telepon orang yang pesan," kata Marlin.
Rachmat dan Yanu, 2 pengemudi ojek online dari apilikasi Grab yang ditemui di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, lebih senang langsung menghubungi konsumen untuk memastikan lokasi penjemputan.
"Saya biasa habis terima order, saya kontak orangnya untuk pastiin dimana tempatnya, tetapi jadi boros pulsa," ucap Yanu.
Rachmat mengaku pernah tersasar saat mengantar makanan, lantaran Google Map yang dipakainya kurang akurat menentukan lokasi.
"Saya antar makanan di komplek, kompleknya sudah benar, tetapi bloknya beda. Di handphone blok C ada di depan tahunya pas nanya ke satpam adanya di ujung belakang. Sempat muter-muter sampai 10 menit lebih waktu itu," ujar Rachmat.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mendingan Saya Minggir Tanya Orang daripada Andalkan GPS..."