Gridoto.com - Sejak dua tahun lalu, istilah frugal living berseliweran di media sosial. Ini adalah pilihan gaya hidup hemat meski Anda dalam situasi yang berkecukupan.
Namun istilah ini kembali menguat setelah beberapa waktu lalu pemerintah mengumumkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai 12 persen per 1 Januari 2025.
Anjuran untuk hidup berhemat ini bahkan menjurus pada ajakan untuk ‘memboikot’ untuk tidak membeli barang-barang yang terkena PPN.
Seperti membeli di pasar tradisional, membeli di warung, membeli di tempat yang tidak memakai pembayaran digital dan sebagainya.
Bahkan pernah ada ajakan tidak membeli mobil atau motor baru, lebih baik merawat apa yang sudah ada.
Nah, soal membeli atau tidak ini memang kembali kepada keputusan individu. Namun kalau dikaitkan dengan spirit untuk membuat ekonomi melamban, tentu dampaknya kembali kepada masyarakat.
Dikutip Kompas.com, Deborah Taylor-Hough menulis dalam bukunya Frugal living for Dummies bahwa gaya hidup frugal living merupakan pilihan orang yang menerapkannya. Ini berbeda dari kemiskinan atau pelit.
Dalam konteks keotomotifan, frugal living ini memang bisa dikaitkan dengan penghematan tanpa mengurangi kualitas pengalaman.
Misal tetap belanja tapi mencari produk yang lebih murah, belanja hanya untuk yang dibutuhkan saja dan memanfaatkan diskon.
Anda juga tetap menggunakan kendaraan tapi merawat atau memperbaiki sendiri kendaraan yang ada. Lainnya, tetap bepergian tapi menghindari tempat mahal atau berbiaya mahal.
Singkatnya, menerapkan frugal living pun tetap butuh duit karena artinya tidak benar-benar meniadakan pembelian.
Namun mengarahkan pembelanjaan pada hal-hal yang perlu. Misal, bahan bakar dan pelumas mesin. Di periode lainnya ada pelumas transmisi dan oli kompresor AC.
Editor | : | Iday |
KOMENTAR