GridOto.com - Singapuran dan China menjadi contoh negara yang menerapkan regulasi ketat terkait pembatasan kendaraan.
Para penduduk di sana dibatasi soal jumlah kepemilikan kendaraan demi mengurangi kemacetan dan polusi.
Seperti diketahui, Singapura dikenal dengan aturan ketat terkait kepemilikan kendaraan.
Selain membeli mobil, warga di sana diwajibkan memiliki Certificate of Entitlement (COE) yang berlaku selama 10 tahun.
Untuk memperpanjang COE, kendaraan harus lolos uji kelayakan.
Pajak kendaraan di Singapura juga sangat tinggi, sehingga harga kendaraan menjadi jauh lebih mahal dibandingkan Indonesia.
Sebagai contoh, harga Honda CR-V di Singapura mencapai Rp 1,4 miliar, sementara di Indonesia harganya berkisar Rp 500 juta.
Baca Juga: Tak Setuju Aturan Pembatasan Usia Kendaraan, Ajukan Uji Materi Ke MK
Sedangkan di China, khususnya Beijing, pembatasan jumlah kendaraan dilakukan melalui undian pelat nomor.
Warga yang ingin menggunakan mobil harus mendaftar untuk mendapatkan lisensi pelat kendaraan.
Namun, kuota yang terbatas membuat tidak semua pemilik mobil dapat menggunakan kendaraannya.
Lalu, apakah cara Singapura dan China tersebut akan efektif berlaku jika diterapkan di Jakarta?
Ketua Institut Studi Transportasi (Instran), Darmaningtyas berpendapat, kebijakan serupa tidak relevan jika diterapkan di Indonesia, khususnya Jakarta.
Menurut dia, terdapat sejumlah faktor yang menjadi hambatan, terutama terkait ketaatan masyarakat dalam membayar pajak dan skema yang ada.
Saat ini, Indonesia belum memiliki regulasi pembatasan usia kendaraan.
Baca Juga: Bikin Garasi Dulu, Parkir Mobil di Depan Rumah Tetangga Terancam Penjara dan Denda Rp 1,5 Miliar
Meski demikian, Pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (DKJ) Nomor 2 Tahun 2024 memberikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta wewenang untuk membatasi usia dan jumlah kendaraan bermotor.
"Orang Indonesia masih banyak yang tidak mau balik nama atau bahkan mengakali pajak progresif, sehingga pencatatan data kendaraan tidak valid. Makanya, Jasa Raharja kemarin itu menyarankan skema dimaksud dihilangkan," kata Darmaningtyas, (9/12/24) menukil Kompas.com.
"Tetapi secara umum, kebijakan seperti ini tidak relevan diterapkan di Indonesia," ucap Darmaningtyas.
Pendapat senada juga disampaikan Sekretaris Umum GAIKINDO, Kukuh Kumara.
Ia menilai penerapan pembatasan usia kendaraan di Indonesia memerlukan kajian mendalam.
Menurutnya, kondisi ekonomi, luas wilayah, dan karakter masyarakat Indonesia sangat berbeda dibandingkan negara seperti Singapura.
"Kalau kita bilang, negara lain saja bisa, misalnya Singapura sudah menerapkan aturan pembatasan usia kendaraan, mesti dilihat GDP-nya di sana berapa? Di sini kan nggak sama seperti Singapura," ujar Kukuh dalam kesempatan terpisah disitat dari Kompas.com.
Baca Juga: Perda Tentang Pemilik Mobil Wajib Punya Garasi Bakal Dievaluasi, Begini Kata Anies Baswedan
Selain itu, Kukuh menyoroti keterbatasan infrastruktur transportasi umum di Indonesia.
Dibandingkan negara-negara yang sudah memberlakukan pembatasan kendaraan, Indonesia masih jauh tertinggal.
Hal ini membuat kendaraan pribadi tetap menjadi kebutuhan utama masyarakat.
"Harus dilihat secara keseluruhan. Bukan hanya dari kacamata industri saja, tapi juga secara ekonomi bagaimana dampaknya," kata Kukuh.
Editor | : | Hendra |
KOMENTAR