GridOto.com - Daya beli masyarakat kelas menengah dikabarkan banyak yang turun kasta.
Dampaknya tentu berpengaruh pada industri otomotif.
Tentunya ini menjadi alarm peringatan, sebab penjualan yang anjlok, berpotensi membahayakan kelangsungan industri otomotif nasional.
Hal ini seperti disampaikan oleh Sekretaris Utama Gaikindo, Kukuh Kumara dalam FGD Pilar Pertumbuhan Ekonomi 8% Industri Otomotif Harus Bangkit , Jakarta, Kamis (21/11/2024).
Kukuh mengatakan, sejalan dengan turunnya pembelian mobil baru, mobil bekas makin laku di masyarakat sebab mobil bekas merupakan solusi dalam menyikapi harga mobil yang semakin mahal.
"Harga kendaraan kita naiknya luar biasa sehingga menimbulkan gap makin lama makin besar antara harga beli dengan pendapatan. Orang yang ingin beli mobil cenderung pilihannya beda apalagi harga mobilnya jauh, pilihannya lari ke mobil bekas," kata Kukuh di Jakarta Pusat.
"Bahkan sebanyak 10 juta masyarakat kastanya menurun. Nah kalau seperti itu peminat mobil baru makin berkurang," tuturnya.
Dia berharap, adanya dukungan pemerintah untuk meningkatkan permintaan mobil baru di pasar domestik.
Misalnya memberikan insentif memberikan insentif fiskal (PPnBM) DTP yang telah memiliki sejarah sukses pada periode 2011 (penjualan domestik tertinggi).
Baca Juga: Kolaborasi dengan Industri Otomotif, PAFI Berupaya Tingkatkan Kesehatan Pengemudi
"Kita juga sering berdiskusi dengan pemerintah untuk menyesuaikan tarif pajak. Dengan pajak yang tidak terlalu tinggi ini akan mendorong volume penjualan," tandasnya.
Sekadar informasi, pasar otomotif Nasional dipredikisi hanya mencapai 850 ribu unit pada 2024, menurun dibandingkan penjualan tahun sebelumnya sebesar 1.005 juta unit.
Penurunan ini menjadi indikator perlambatan ekonomi sekaligus daya beli masyarakat yang melemah.
Selama lima tahun terakhir, kinerja peenjualan otomotif menunjukan fluktuasi yang signifikan.
Puncak penjualan terjadi pada 2019 dengan 1,03 juta unit sebelum tertekan pandemi Covid-19 pada 2020.
Meski pemulihan mulai terlihat pada 2021 dan 2022, berkat insentif PPnBM Ditanggung Pemerintah (DTP), angka penjualan belum kembali ke level pra-pandemi.
Industri otomotif juga menghadapai peluang besar melalui elektrifikasi kendaraan.
Program Low Carbon Emission Vehicle (LCEV) pemerintah mencakup berbagai jenis kendaraan rendah emisi, seperti mobil listrik, hibrida hingga kendaraan berbasis bahan bakar fleksibel.
Sejumlah regulasi san insentif telah disiapkan untuk mendorong adopsi kendaraan listrik, termasuk insentif PPnBM DTP untuk kendaraan listrik berbasis baterai pada 2024 dan kebijakan bebas bea masuk impor mobil listrik mulai 2025 bagi produsen yang memenuhi persyaratan TKDN hingga 40 %.
Namun, adopsi kendaraan listrik mayoritas masih belum terjangkau disertai infrastruktur pendukung yang belum memadai.
Diperlukan upaya lebih lanjut untuk menjadikan kendaraan listrik sebagai pendorong pertumbuhan pasar otomotif nasional.
Pada 2025, kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen serta kendaraan bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) diperkirakan akan meningkatkan harga kendaraan, yang dapat mrmbatasi daya beli masyarakat
Sementara itu ditengah tantangan tersebut, segmen kendaraan dengan harga dibawah Rp 300 juta terus menjadi andalan pasar, meningkat dari 61 persen menjadi 63 persen dari total penjualan.
Sebaiknya, kendaraan dengan harga diatas Rp 300 juta menunjukan penurunan kotribusi dari 39 persen menjadi 37 persen.
Meningkatkan permintaan pasar sangat penting untuk mendongkrak utilisasi produksi kendaraan dan mencipatakan efek berantai positif ke sektor lainnya, seperti logistik dan bahan baku.
Dengan optimalisasi sektor otomotif, pemerintah optimis dapat mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen dibawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.
Editor | : | Hendra |
KOMENTAR