GridOto.com - Pemerintah akan menguji coba penerapan pembelian BBM bersubsidi menggunakan aplikasi MyPertamina mulai 1 Juli 2022.
Harapannya agar pernyaluran BBM bersubsidi seperti Pertalite dan Solar lebih tepat sasaran.
Namun rencana tersebut bisa terganjal oleh hal-hal sepele.
Pakar Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Fahmy Radhi, M.B.A mengingatkan bahwa tak semua masyarakat yang berhak mendapatkan BBM bersubsidi memiliki gadget untuk mengakses aplikasi MyPertamina.
"Saya tidak yakin pembatasan Pertalite dan Solar akan berhasil menggunakan MyPertamina. Alasannya, tidak semua konsumen menggunakan gadget untuk akses MyPertamina,” terangnya dikutip dari Tribunjogja.com, Selasa (28/6/2022).
Selain itu, tak semua SPBU Pertamina terdapat jaringan internet yang memadai untuk mengakses aplikasi MyPertamina.
Seperti rakyat di daerah yang justru tidak memperoleh subsidi lantaran tidak bisa gunakan MyPertamina disebabkan tidak punya gadget dan tidak ada akses internet.
“Nah, dengan potensi masalah tersebut, pembatasan Pertalite via MyPertamina sebaiknya dibatalkan,” terangnya.
Dijelaskan Fahmy, beban pemerintah semakin berat terkait persoalan energi bahan bakar minyak.
Baca Juga: Bisa Jadi Syarat Beli Pertalite dan Bio Solar, Begini Cara Unduh dan Daftar Aplikasi MyPertamina
Bahkan, melalui curhatan Presiden Joko Widodo belum lama ini disampaikan bila kebijakan pemerintah untuk menahan harga BBM semakin berat karena jumlah subsidi yang digelontorkan bukan sekedar besar tetapi sangat besar sekali.
Besaran subsidi tersebut dinilainya bisa dipakai untuk membangun Ibu Kota Negara (IKN) lantaran sudah mencapai angka Rp 502 triliun.
Membengkaknya beban subsidi tersebut lebih disebabkan oleh meroketnya harga minyak dunia yang menjadi variabel utama pembentuk harga BBM.
“Harga minyak dunia mencapai USD 105 per barrel, sedangkan asumsi ICP (Indonesia Crude Oil) APBN ditetapkan sebesar USD 63 per barrel. Selisih ICP dengan harga minyak dunia itulah yang merupakan subsidi menjadi beban APBN, akibat kebijakan Pemerintah tidak menaikkan harga BBM," ujar Fahmy.
Fahmy juga menilai curhatan Jokowi terkait subsidi dan kompensasi tersebut salah sasaran.
Sebab, terkait subsidi dan kompensasi selama ini dinilainya tidak pernah ada solusi dan hanya berseliweran pada tataran wacana saja.
Padahal, untuk menekan mengelembungnya subsidi dan kompensasi BBM, menurutnya, ada beberapa upaya yang sebenarnya bisa dilakukan.
“Pertama, penetapan harga Pertamax dan Pertamax ke atas diserahkan saja kepada Pertamina untuk menetapkan harganya sesuai harga keekonomian,” tegasnya.
Dengan begitu, negara tidak harus membayar kompensasi akibat adanya perbedaan harga ditetapkan dengan harga keekonomian.
“Kedua, tetapkan pembatasan untuk penggunaan Pertalite dan Solar dengan kriteria yang sederhana dan operasional di lapangan,” tuturnya.
Fahmy menilai, pemerintah perlu menetapkan saja pengguna Pertalite dan Solar hanya untuk sepeda motor dan kendaraan angkutan.
“Ketiga, hapus BBM RON 88 Premium. Alasannya, kendati penggunaan Premium sudah dibatasai hanya di luar Jawa Madura Bali (Jamali), tapi impor dan subsidi Premium masih cukup besar yang juga menambah beban APBN,” tuturnya.
Oleh karena itu, sarannya, akan lebih produktif bagi presiden Jokowi untuk mengupayakan subsidi yang lebih tepat sasaran sehingga dapat mengurangi beban APBN.
Dengan menurunkan beban subsidi BBM tentunya dana subsidi tersebut dapat digunakan untuk membiayai pembangunan IKN.
“Upaya itu sesungguhnya pernah dilakukan Jokowi di periode pertama pemerintahannya dengan memangkas subsidi BBM dalam jumlah besar demi membiayai pembangunan infrastruktur," tandas Fahmy.
Artikel ini telah tayang di TribunJogja.com dengan judul "Pakar Ekonomi UGM : Implementasi MyPertamina Bisa Terganjal Koneksi Internet"
Editor | : | Hendra |
Sumber | : | Tribunjogja.com |
KOMENTAR