GridOto.com - Toyota NAV1 pertama kali hadir di Indonesia pada 2012, dirakit secara lokal (Completely Knock Down/CKD) oleh PT Sugity Creatives yang merupakan anak perusahaan Toyota Auto Body di Bekasi, Jawa Barat.
Kala itu, Toyota menghadirkan NAV1 untuk mengisi celah di kelas MPV (Multi Purpose Vehicle), posisinya ada di antara Alphard dan Kijang Innova.
Selain itu, Toyota NAV1 juga ditempatkan untuk mengisi persaingan dengan dua kompetitornya yakni Mazda Biante dan Nissan Serena.
Namun pada 2017 lalu, PT Toyota-Astra Motor (TAM) menyuntik mati MPV dengan nama lain Toyota Noah ini dan posisinya digantikan oleh Toyota Voxy.
Baca Juga: Seken Keren: Sejarah Toyota NAV1, Rival Nissan Serena yang Kiprahnya Cukup Singkat di Indonesia
Harga Toyota NAV1 kini sudah sangat terjangkau di pasar mobil bekas, bahkan banderolnya tidak sampai menyentuh angka Rp 200 juta.
"Harga Toyota NAV1 bekas tahun tua seperti 2013 dan 2014 saat ini mulai Rp 140 juta sampai Rp 150 jutaan untuk tipe V. Kalau tipe G jarang ada karena kurang diminati konsumen," terangnya," ucap Yudi Budiman, Owner Indigo Auto, showroom mobil bekas di Tangerang.
"Untuk NAV1 lansiran 2015 sampai 2016 yang sudah facelift tidak sampai Rp 200 jutaan. Kisarannya mulai Rp 170 juta sampai Rp 180 jutaan yang tipe V. Buat yang kondisi istimewa banget paling sekitar Rp 190 jutaan," lanjutnya.
Meski harganya kini relatif bersahabat di kantong, namun ada beberapa hal yang harus jadi pertimbangan sobat sebelum membeli MPV dengan pintu geser ini.
Baca Juga: Seken Keren: Harga Toyota NAV1 Kini Setara LCGC, Kenyamanan dan Fitur Jadi Kelebihannya
"Karena populasinya makin sedikit, makin lama pasti sparepartnya susah dicari dan harga sparepart-nya pasti semakin mahal," ucap David Lesmana, Owner Dunia Usaha Motor (DUM), bengkel spesialis Toyota di BSD, Tangerang Selatan.
David mengatakan, sparepart-nya juga semakin sulit dicari dan bengkelnya juga sudah sangat jarang kedatangan pemilik Toyota NAV1.
"Kalau saya, sebelum membeli mobil yang usianya relatif tua saya akan mempertimbangkan sisi sparepartnya. Kalau sparepartnya banyak, masih gampang (perawatannya). Kalau sparepartya sedikit, pasti akan susah (perawatannya)," tutur David lagi.
"Nah, sparepart ini tergantung populasi mobilnya. Kalau populasi mobilnya banyak, otomatis yang menyediakan sparepartnya juga banyak, begitu juga sebaliknya," tutupnya.
Editor | : | Muhammad Ermiel Zulfikar |
KOMENTAR