GridOto.com - Di Indonesia, kecelakaan bus masih sering terjadi karena banyak faktor.
Bisa karena kelalaian sopir, kelalaian pengguna jalan lain, atau faktor teknis dari kendaraan.
Namun jika menilik dari banyaknya kecelakaan bus yang terjadi di Indonesia, salah satu yang paling membekas adalah Tragedi Paiton.
Peristiwa mengerikan itu terjadi di kawasan Banyu Blugur, Situbondo, Rabu (8/10/2003) malam.
(BACA JUGA: Banyak Kecelakaan Bus, Pengamat Transportasi: Jangan Tergiur Harga Murah)
Bisa dibilang tragedi karena seluruh penumpang bus enggak ada yang selamat dari kecelakaan ini, kecuali sopir dan kernetnya dan dianggap sebagai salah satu kecelakaan bus terparah di Indonesia.
Sebanyak 54 orang siswa dan guru SMK Yapemda 1 Sleman di Situbondo terbakar hidup-hidup karena terjebak dalam bus setelah ditabrak oleh truk.
Rombongan tersebut baru dalam perjalanan pulang ke Yogyakarta, setelah melakukan study tour dan wisata di Bali.
Mengapa kecelakaan ini bisa dibilang sebuah tragedi berskala nasional? Setidaknya ada 7 fakta yang GridOto rangkum dari Tribun Jogja:
1. Api Berasal dari Tangki Truk Tronton yang Pecah Setelah Menabrak Bus
Bus AO Transport tersebut terbakar setelah truk kontainer memotong jalur dari arah berlawanan dan menabraknya, lalu sejurus kemudian dihantam truk tronton dari belakang.
Tangki truk tronton pecah, sehingga menyebabkan munculnya percikan api dan akhirnya merembet ke badan bus.
Kebakaran begitu cepat terjadi karena adanya bahan-bahan yang mudah terbakar di dalam bus, seperti tas dan karpet yang ditaruh di kursi.
2. Bus Tidak Dilengkapi Alat Pemecah Kaca
Korban tewas banyak ditemukan di bagian belakang bus di dekat pintu.
Diduga, para penumpang berusaha untuk ke luar dari sana, tetapi pintu tersebut justru tak dapat dibuka.
Di dalam bus juga tak dilengkapi alat pemecah kaca, sehingga penumpang tak dapat menyelamatkan diri ketika bus terbakar.
Sang sopir bisa selamat setelah melompat dari bus, sedangkan kernetnya memecah kaca bagian depan.
3. Sopir dan Kernet Tidak Melarikan Diri, Malah Membantu Evakuasi Korban
Pria bernama Budi yang saat kejadian mengemudikan bus ternyata hanyalah sopir cadangan alias kernet. Sopir yang sebenarnya bernama Armando.
Sempat beredar kabar bahwa mereka melarikan diri setelah kejadian tersebut. Namun dari pihak perusahaan otobus menyangkal bahwa sopirnya melarikan diri.
Mereka justru ikut membantu mengeluarkan penumpang.
4. Rombongan Terdiri dari Tiga Bus, Bus Ketiga yang Sering Sial
Saat itu, SMK Yapemda 1 Sleman menggunakan tiga bus untuk berwisata ke Bali.
Bus ketiga yang sebenarnya sering mengalami sial di perjalanan, yakni mengalami dua kali pecah kaca dan pernah pula tersangkut listrik.
Namun tak disangka, justru bus kedua yang mengalami kejadian sangat tragis.
Siswa yang ada di dua bus lain tak sadar, bila ternyata bus kedua tersebut pulang tak membawa nyawa.
5. Saksi Melihat Api Berkobar Hebat dan Ada Ledakan Kecil
Saat bus itu terbakar, warga di sekitar lokasi melihat adanya kobaran api dan letupan-letupan kecil.
Petugas pemadam kebakaran dikerahkan untuk membantu memadamkan api.
6. Jumlah Korban Membuat RSUD Situbondo Kewalahan
Banyaknya jumlah korban meninggal memaksa pihak RSUD Situbondo untuk mengawetkan jenazah menggunakan balok es.
Jenazah juga hanya ditempatkan di lorong, karena ruang kamar mayat tidak terlalu besar.
Kebanyakan jenazah mengalami luka bakar serius. Ada bagian tubuhnya yang hilang dan beberapa sulit dikenali.
(BACA JUGA: Pasca Kecelakaan Maut, Polisi dan Dishub Resmi Melarang Bus Lewati Jalur Cikidang Sukabumi)
7. Warga Sekitar Enggan Berjualan di Sekitar Lokasi Kejadian Hingga Sekarang
Setelah bus yang membawa 54 penumpang itu terbakar, beberapa warung yang ada di dekat lokasi memilih tutup karena ngeri.
Tempat terjadinya kecelakaan adalah sebuah jalan yang cukup tinggi.
Sedangkan kiri kanannya berupa bukit dan tanaman liar yang sepi.
Artikel ini telah tayang di Tribunjogja.com dengan judul 7 Fakta Mengerikan Tragedi Paiton yang Tewaskan 54 Siswa dan Guru Asal Sleman 14 Tahun Lalu
Editor | : | Ditta Aditya Pratama |
Sumber | : | Tribun Jogja |
KOMENTAR