Penggunaan kaca film sudah lumrah di Indonesia.
Alasannya terutama karena privasi, dan agar lebih aman karena pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab akan sulit melihat isi kendaraan.
AKBP Budiyanto selaku Kasubdit BINGAKKUM Polda Metro Jaya menyebutkan, aturan spesifik kaca film tersurat dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 439/U/Phb-76 tentang penggunaan kaca pada kendaraan bermotor.
Dikatakan, kaca depan, belakang, dan samping, harus terbuat dari bahan yang tidak mudah pecah, bisa tembus pandang dari dua arah, serta tidak mendistorsi pengelihatan orang yang ada di dalam mobil ke luar mobil.
Lebih jauh, dikatakan bahwa kaca ini boleh dilapisi bahan berwarna, asal dapat menembus cahaya dengan persentase tidak kurang dari 70 persen.
Khusus untuk kaca depan dan belakang, prosentase penembusan cahaya bisa kurang dari 40 persen, tapi hanya berlaku bagi satu pertiga tinggi kaca secara keseluruhan.
Adapun yang dimaksud dengan prosentase penembusan cahaya adalah perbandingan antara jumlah cahaya setelah menembus kaca dan masuk ke dalam kabin dengan jumlah cahaya sebelum menembus kaca yang bersangkutan.
Artinya, semakin tinggi prosentase, maka kaca semakin bening.
Sebaliknya, semakin rendah prosentase, maka kaca yang dipakai semakin gelap.
Penyebutan ini terbalik dengan istilah yang biasa dipakai penjual kaca film.
Selain soal kegelapan, disebutkan bahwa penggunaan bahan untuk lapisan ini tidak boleh menimbulkan pemantulan cahaya baru.
“Tingkat kegelapan kaca ini adalah amanat dari PP Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan, terutama pada 58 ayat (5). Tentunya bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi.” Tutup Budiyanto.
Editor | : | Akbar |
KOMENTAR