GridOto.com - Beberapa hari lalu publik dihebohkan dengan kecelakaan maut yang melibatkan dua bus, yakni PO Sugeng Rahayu dan PO Eka di Ngawi, Jawa Timur, Kamis (31/8/2023).
Berkaca dari kasus kecelakaan ini, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menyoroti kondisi jalan arteri primer yang ada di Indonesia.
Menurut Ahmad Wildan, PLT Ketua Sub Komite LLAJ KNKT, kebanyakan ruas jalan arteri primer di Indonesia tidak memiliki median atau pembatas.
Sehingga kendaraan dari kedua arah berpotensi bertemu dan terjadi tabrak depan atau adu banteng.
"Kami mengidentifikasi ada beberapa hazard (segala sesuatu yang berpotensi menjadi bahaya) di sana," ucap Wildan saat dihubungi GridOto.com, Sabtu (2/9/2023).
Adapun potensi bahaya yang pertama adalah adanya mixed traffic yang membentuk perbedaan kecepatan.
"Ada kendaraan yang berjalan cepat seperti bus dan mobil penumpang. Kendaraan ini bisa berjalan dengan kecepatan 80 sampai 90 km/jam," jelas Wildan.
"Namun ada juga kendaraan yang berjalan lambat dengan kecepatan maksimal 30 km/jam, seperti truk bawa pasir, motor bawa rumput dan lain sebagainya," lanjutnya.
Kendaraan dengan kecepatan yang timpang tersebut seharusnya tidak boleh berada di satu lajur sama.
Baca Juga: Adu Banteng PO Eka Vs Sugeng Rahayu, Kedua Sopir Meninggal di Lokasi Kejadian
Sebab jika kedua golongan kendaraan tersebut bertemu, maka pilihan bagi kendaraan yang lebih cepat hanya dua.
"Pilihan pertama kendaraan yang berjalan lambat ditabrak (tabrak depan belakang), atau menghindar ke kanan. Jika saat menghindar ke kanan terdapat kendaraan dari lawan arah maka dapat terjadi tabrak depan depan (adu banteng)," jelasnya.
Ia menjelaskan, idealnya jalan arteri primer memiliki format 2 jalur, 4 lajur, dan 2 arah dengan median (pembatas).
Dengan demikian, maka masing-masing arah tidak mungkin bertemu.
"Setiap arahnya tersedia 2 lajur, yaitu lajur kendaraan yang lambat dan yang cepat untuk mendahului," sebut Wildan.
Sebagai gambaran, Jalan Solo-Ngawi tempat kecelakaan bus PO Sugeng Rahayu dan PO Eka adalah jalan arteri primer dengan format jalan 2 jalur, 2 arah tanpa median dengan lebar maksimal 7 meter.
Hazard berikutnya adalah jalan arteri primer di Indonesia tidak steril dari pejalan kaki.
Padahal, menurut Wildan jalan arteri primer tidak boleh terdapat pejalan kaki dan akses jalan minor.
"Namun demikian, pada prakteknya jalan arteri primer kita banyak terdapat akses langsung ke jalan minor dan banyak pejalan kaki disana. Sehingga kasus kecelakaan tabrak samping (crossing) dan pejalan kaki yang tertabrak juga cukup tinggi," tuturnya.
Idealnya akses dari dan menuju jalan minor harus disederhanakan derajatnya menjadi merging.
"Untuk yang berbalik arah harus disediakan U Turn (putaran balik) terlindung, tujuannya agar menghindari konflik langsung," tutupnya.