GridOto.com - Mumpung bulan Ramadhan, sobat yang doyan motoran bisa ngabuburide ke tempat-tempat religius.
Oh iya, ngabuburide merupakan kegiatan ngabuburit alias menunggu buka dengan cara riding.
Salah satu tempat yang bisa disambangi adalah Masjid Selo.
Melansir Tribunjogja.com, masjid ini merupakan salah satu peninggalah Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Masjid ini didirikan pada 1709 tahun Caka atau 1789 masehi.
Saat itu Sultan mendirikan masjid khusus untuk kegiatan ibadah orang Ndalem, sebutan untuk abdi Keraton Yogyakarta.
Letak masjid itu berada di kampung Panembahan, Kemantren Kraton, Kota Yogyakarta, atau sekitar 1,9 kilometer dari Titik Nol Km Yogyakarta.
Bangunan itu berada di gang sempit Kampung Panembahan, Kota Yogyakarta.
Terdapat papan penanda bertuliskan "Masjid Selo" Panembahan Yasan Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono I di samping gapura gang tersebut.
Baca Juga: Baru Permulaan! Begini Keseruan Sunmori Bareng Two Wheels Enthusiast Keliling Boyolali
Gang menuju masjid bersejarah itu tidak dapat dilalui mobil.
Jika ingin berkunjung ke Masjid Selo, kendaraan harus diparkir di pinggir jalan utama kampung itu.
Lalu pengunjung dapat berjalan kaki lebih kurang 100 meter dari jalan utama perkampungan.
Masjid itu terletak di antara permukiman warga.
Kesan sempit sangat terasa saat berada di depan masjid tersebut.
Jelas kondisi saat ini berbeda jauh dengan 233 tahun silam, di mana Masjid Selo mulai digunakan untuk aktivitas keagamaan kala itu.
Konon, halaman masjid itu dulunya adalah kolam bertingkat yang airnya mengalir jernih setiap saat.
Menurut bendahara takmir Masjid Selo, Sunarwiyadi, air tersebut berasal dari Kali Winongo.
"Sebelah utara ini kira-kira 200 meter. Itu kalau di dalam petanya ini masjid panepen, masjid khusus, dan yang untuk umum ada sendiri, terletak di utara," ucapnya, Senin (4/4/2022).
Baca Juga: Libur Lebaran ke Malang? Coba Deh Riding Beli Jajanan Khas ke Pasar Besar
Mengenai gaya arsitekturalnya, fasad bangunan Masjid Selo menyerupai Tamansari.
Maklum, arsitek dari bangunan masjid itu sama dengan arsitek Tamansari yang berada di sebelah barat Keraton Yogyakarta.
Kubah masjid berbentuk mengerucut dengan bahan semen dan batu menyerupai bangunan di Tamansari.
Tembok di masjid itu juga tebalnya hingga 75 sentimeter.
Model jendela yang digunakan berupa teralis terbuat dari kayu.
Tidak banyak ornamen yang digunakan dalam pembangunan masjid itu.
Langit-langitnya juga berbentuk mengerucut persis seperti bangunan Tamansari.
"Atap pintunya agak rendah, boleh jadi orang ketika masuk harus menunduk. Itu filosofinya," tutur Narwi. "Menunduk tadi maksudnya menghormat.”
Fondasi masjid ini juga sangat dalam masuk ke tanah.
Baca Juga: Ngabuburide Berfaedah, Komunitas Honda PCX 150 Semarang Gelar Charity Ride
Bahkan ketika terjadi gempa bumi besar di DIY, relatif bangunan ini tidak terdampak.
“Lah, kemarin orang buat sumur irigasi katanya melihat fondasi masjidnya," terang dia.
Luas awal masjid itu lebih kurang 6x8 meter persegi, hanya bisa menampung sekitar 30 jemaah.
Saat ini masjid itu dilakukan perluasan dengan menambah serambi di kanan dan kiri bangunan utama masjid.
Otomatis daya tampung bertambah, yakni lebih kurang 150 jemaah.
Kini Masjid Selo masuk ke dalam Bangunan Cagar Budaya.
Artikel ini telah tayang di TribunJogja.com dengan judul "Menilik Sejarah Masjid Selo Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono I"