GridOto.com - Lewat Peraturan Presiden No. 191 Tahun 2014, Pemerintah sempat berencana menghapus BBM jenis Premium dengan RON 88 dan Pertalite RON 90 pada 2022 ini.
Tujuan menghapus BBM jenis Premium dan Pertalite, yaitu untuk mengalihkan masyarakat ke penggunaan BBM yang lebih ramah lingkungan.
Ahmad Safrudin selaku Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bahan Bakar Bertimbel (KPBB), mengatakan Premium dan Pertalite hingga BBM lainnya mengandung zat yang berbahaya bagi kesehatan manusia.
"Walau BBM bertimbel sudah dihapus secara nasional pada 2007, bensin dan solar ini punya senyawa berbahaya. Salah satunya yaitu belerang atau sulfur," ujar Puput dalam Ngobrol Virtual (NgoVi) bertajuk Maju Mundur Penghapusan Premium dan Pertalite, Kamis (7/1/2022).
Menurut Pria yang akrab disapa Puput ini, kandungan sulfur dalam Premium dan Pertalite terbilang tinggi melebihi standar Euro 4.
"Kalau standar Euro 2 sulfur maksimal yang diperbolehkan 500 ppm (part per million), Euro 3 itu 300 ppm dan Euro 4 maksimal 50 ppm," katanya.
"BBM berkadar belerang tinggi seperti Premium dan Pertalite sekitar 150-200 ppm, sementara Euro 4 standarnya 50 ppm. Efeknya mobil yang sudah dilengkapi Catalytic Converter untuk mesin bensin akan rusak," lanjut Puput.
Hal serupa juga terjadi di kendaraan bermesin diesel, yang menggunakan Solar semisal dengan Cetane Number (CN) 48 hingga Dexlite CN 51.
"Solar CN 48 itu kadar sulfurnya 1800 ppm, untuk Dexlite kadar sulfurnya 1200 ppm," kata Puput.
Baca Juga: Pertamina Tunggu Turunan Perpres untuk Hapus BBM Jenis Premium dan Pertalite
Penggunaan solar kualitas rendah ini, berdampak terhadap kerusakan part di mobil diesel yang sudah dilengkapi Diesel Particulate Filter (DPF).
Puput mengungkapkan, kerusakan Catalytic Converter dan DPF ini lah yang memicu gangguan kesehatan dan pencemaran lingkungan.
"Ketika DPF atau Catalytic Converter rusak, yang seharusnya part ini mengoksidasi atau mengendalikan emisi berbagai polutan maka akan menjadi tidak berfungsi," ucapnya.
"Lalu Ketika DPF dan Catalytic Converter rusak, knalpot akan mengebul lalu mengeluarkan zat polutan berbahaya seperti Hidrokarbon yang sangat tinggi zat Karsinogenik dan juga Karbon Monoksida yang mematikan," sambung Puput.
Berbagai zat tersebut ketika terhirup sebentar bisa membuat seseorang pusing, pingsan bahkan meninggal jika dihirup dalam waktu yang lama.
"Contoh hal ini ada di tragedi Brexit atau Brebes Exit di Mudik tahun 2016 yang membuat 17 orang meninggal, setelah kami telisik 11 diantaranya itu karena keracunan Karbon Monoksida," terang Puput.
Lebih lanjut Puput menyebut, kerusakan DPF dan Catalytic Converter juga menghasilkan gas Nitrogen Dioksida (NOx) yang tinggi dan berbahaya.
"Gas ini ketika dihirup akan langsung masuk ke Alveolus di dalam Paru-paru sebagai tempat pertukaran oksigen ke dalam darah," ucapnya.
" Kalau NOx terhidup, maka Alveolus memberi respon dengan mengeluarkan cairan untuk membilas Alveolus yang kemasukan zat asing ini," ungkap Puput lagi.
Masalahnya pencemaran ini tidak hanya terjadi dalam hitungan menit, jam atau cuma berhari-hari terutama di Jakarta.
Alasannya, karena di Jakarta masyarakat dalam setahun menyaksikan pencemaran udara yang sudah melampaui baku mutu.
"Artinya sepanjang tahun kita menghirup berbagai zat berbahaya termasuk Hidrogen Dioksida, sehingga jika sampai setahun Alveolus terus mengeluarkan cairan maka Alveolus akan kebanjiran atau istilahnya Paru-paru Basah karena sulit bernafas," terang Puput.
Ia melanjutkan, dampak negatif dari penggunaan BBM tidak berkualitas di bidang kesehatan yaitu paru-paru akan kesulitan mentransfer Oksigen ke dalam darah.
"Kalau itu terjadi terus-menerus berpotensi menimbun karsinogenic atau timbulnya kanker paru-paru," jelas Pria ramah tersebut.
Beberapa waktu lalu, KPBB juga pernah melakukan riset mengenai dampak penggunaan BBM tidak berkualitas ke kesehatan masyarakat.
"Risetnya untuk tahun 2010 di Jakarta, hasilnya masyarakat perlu membayar Rp 38,5 triliun per tahun hanya untuk berobat karena dampak pencemaran udara," papar Puput.
"Di 2016 kami update dan angkanya meningkat jadi Rp 51,2 triliun per tahun, makanya jangan heran kenapa BPJS selalu tekor karena menanggung beban masyarakat yang tinggi," sambungnya lagi.
Puput menerangkan, ahli kesehatan pernah menyatakan bahwa 60% penyakit disebabkan dari udara kotor.
Baca Juga: Bahaya, Bensin Premium Menyebabkan Kanker dan Penyakit Paru-paru
"Dari riset ini juga kami tahu bahwa Rp 51,2 triliun itu untuk berobat penyakit Asma, Ispa, Infeksi Saluran Pernapasan Akut, Bronkitis, Pneumonia, Penyempitan Saluran Pernapasan, Jantung Koroner dan lainnya," sebutnya.
"Kanker Paru-paru belum termasuk, lalu peningkatan biaya kesehatan dan polusi ini juga terjadi kota besar lainnya selain Jakarta," tutup Puput.
Waduh sob, bahaya juga ya dampak pemakaian BBM tidak berkualitas bagi kesehatan manusia.