GridOto.com - Usaha pengendalian pencemaran udara di Jakarta saat ini masih terganjal dengan kualitas bahan bakar minyak (BBM).
"Sayangnya, pemerintah saat ini masih ambigu," ujar Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Jumat (16/8/2019).
Di satu sisi pemerintah ingin melepas beban dalam memasok Premium 88 dan Solar 48.
Akan tetapi, di sisi lain pemerintah ingin tetap mempertahankan posisi populis.
(Baca Juga: Polusi Udara di Jakarta Bisa Turun Hampir 100 Persen, Asalkan Pemerintah Terapkan Ini pada Kendaraan)
Populis yang dimaksud di sini merupakan kepentingan masyarakat.
Padahal peraturan perundangan telah mengamanatkan kepada pemerintah untuk menghentikan pasokan BBM yang tidak sesuai dengan standar kendaraan Euro2 mulai 1 Januari 2007.
Standar kendaraan Euro2 yaitu bensin RON di bawah 91, Solar Cetane No di bawah 51, dan kadar sulfur di atas 500 ppm.
Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI No P20/2017 tentang standar emisi kendaraan tipe baru dan yang sedang diproduksi.
(Baca Juga: Toyota Avanza Dimodifikasi Mahasiswa UNUSA, Bisa Petakan Tingkat Polusi Udara di Kota Surabaya)
Maka, berbagai jenis BBM tersebut harus dihentikan produksi serta pemasarannya.
BBM juga harus digantikan dengan yang memenuhi persyaratan teknis untuk kendaraan berstandar Euro4.
Spesifikasi BBM kendaraan Euro4 itu setidak-tidaknya untuk bensin harus memiliki RON 91 dan Solar Cetane 51.
Keduanya juga harus dengan kadar sulfur maksimal 50 ppm.
(Baca Juga: Tingkat Polusi di Jakarta Mengancam Kesehatan, Ini Dampaknya Menurut Dokter Spesialis)
Peraturan Menteri ini bersumber dari UUD 1945 Pasal 28 h, di mana setiap warga negara berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Hak konstitusional warga negara ini telah pula dituangkan pada UU No 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan PP No 41/1999 tentang pengendalian pencemaran udara.
Di Jakarta sendiri telah diadopsi melalui PERDA No 2/2005 tentang pengendalian pencemaran udara.